TLII>>Banda Aceh – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh menyatakan penolakan tegas terhadap rencana pemerintah pusat membangun empat Batalyon Teritorial Pembangunan (BTP) di Provinsi Aceh. Lokasi batalyon tersebut direncanakan berada di Kabupaten Pidie, Nagan Raya, Aceh Tengah, dan Aceh Singkil.

Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna, menilai rencana itu mengabaikan semangat perdamaian yang telah terbangun sejak penandatanganan Nota Kesepahaman Helsinki (MoU Helsinki) pada 2005, serta berpotensi memperparah trauma masyarakat yang menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu.
“Penambahan batalyon ini merupakan bentuk pengingkaran terhadap komitmen negara dalam menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu di Aceh,” ujar Husna dalam keterangan tertulis, Selasa (7/5).
Husna mengingatkan bahwa MoU Helsinki secara tegas membatasi jumlah pasukan militer dan kepolisian organik di Aceh. Berdasarkan butir 4.7 dalam perjanjian itu, jumlah tentara dibatasi maksimal 14.700 personel, dan kepolisian 9.100 personel.
“Pemerintah seharusnya mengevaluasi apakah jumlah tersebut masih sesuai dengan MoU atau justru telah dilanggar selama ini,” tegasnya.
KontraS juga menyoroti ketentuan dalam MoU yang melarang pengerahan militer secara besar-besaran. Menurut mereka, kehadiran empat batalyon baru jelas bertentangan dengan komitmen tersebut dan mengancam stabilitas perdamaian yang telah dijaga selama hampir dua dekade.
Lemahnya Reformasi dan Ancaman Militerisasi Sipil
Lebih lanjut, KontraS menilai lambannya reformasi institusional di Aceh memperparah kekhawatiran masyarakat. Ketiadaan jaminan agar individu yang diduga terlibat pelanggaran HAM tidak menduduki jabatan strategis militer menjadi salah satu indikator lemahnya keadilan transisi.
“Tanpa akuntabilitas dan jaminan ketidakberulangan, kepercayaan korban terhadap proses keadilan akan terus melemah,” ungkap Husna.
Rencana pembangunan batalyon juga diklaim oleh TNI sebagai bagian dari upaya mendukung swasembada pangan, termasuk menghadirkan unsur pertanian, peternakan, perikanan, dan kesehatan di dalam struktur batalyon. Namun, KontraS menilai justru peran tersebut semestinya dijalankan oleh lembaga sipil.
“Kita punya Bulog, Dinas Pertanian, kelompok tani, dan lembaga-lembaga sipil lain yang memiliki kompetensi di bidang itu. Ketika TNI mengambil alih fungsi tersebut, ini adalah bentuk militerisasi terhadap ruang sipil,” tambahnya.
Luka Lama Belum Sembuh
KontraS juga mengkritisi mandeknya proses pemulihan pascakonflik. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh mencatat lebih dari 6.000 kesaksian pelanggaran HAM yang terjadi sepanjang 1976–2005, namun hingga kini belum ada langkah signifikan dari pemerintah untuk memenuhi hak-hak korban.
“Program non-yudisial yang digagas melalui Tim PPHAM pun belum menjawab kebutuhan pemulihan menyeluruh. Tiga kasus utama di Aceh seperti Rumoh Geudong, Simpang KKA, dan Jambo Keupok belum menunjukkan progres nyata,” ujar Husna.
Dengan rentetan persoalan tersebut, KontraS Aceh menyebut rencana pembangunan batalyon baru di Aceh bukan hanya prematur, tetapi juga berisiko membuka kembali luka lama yang belum sempat pulih.
“Sejarah kelam kekerasan oleh aparat keamanan — termasuk penyiksaan, pembunuhan, dan penghilangan paksa — masih tertanam dalam memori kolektif masyarakat. Penambahan batalyon justru bisa memicu kembali trauma, memperdalam ketidakpercayaan, dan memperburuk rasa aman warga,” pungkas Husna.