
TLii | ACEH | Gayo Lues – Dialog terbuka dalam bentuk podcast antara Anggota DPR Aceh Rijaluddin, SH, MH dan sejumlah tokoh muda Gayo Lues berhasil mencairkan perbedaan pandangan terkait sorotan Rijaluddin terhadap regulasi kehutanan dan keberadaan pabrik getah pinus di Gayo Lues.
Podcast yang digelar di Studio Seputar Gayo, Timelines iNews Investasi, pada Kamis, 7 Agustus 2025 sore, dan disiarkan secara live streaming melalui Facebook Seputar Gayo Lues, awalnya diwarnai perbedaan pemahaman antara pihak Rijaluddin dan para narasumber dari kalangan pemuda.
Para pemuda yang menjadi narasumber — yakni Syah Putra Ariga (Ketua PMGI), Hendra Syahputra (Wakil Ketua BEM Unsyiah Gayo Lues), dan Muhammad Rico (Ketua LSM KOREK) — mengaku sempat menolak atau tidak setuju dengan pemberitaan yang menyebutkan Rijaluddin mempertanyakan manfaat pabrik getah pinus. Mereka merasa kritik tersebut menyentuh langsung profesi keluarga mereka, yang sebagian besar adalah penderes getah pinus dan bergantung hidup dari komoditas tersebut.
Kebingungan Awal Karena Kurangnya Informasi
Host podcast, Arjuna (Kang Juna), membuka diskusi dengan menjelaskan bahwa adanya kesalahpahaman ini mendorong diselenggarakannya dialog terbuka. Ia menilai bahwa tujuan Rijaluddin dan para pemuda sejatinya sejalan, namun belum saling memahami secara utuh. Oleh karena itu, forum ini menjadi sangat penting sebagai jembatan komunikasi yang konstruktif.
“Tujuan kita sama — kesejahteraan masyarakat. Tapi kalau belum saling paham, maka perlu dibuka ruang dialog. Biar tidak salah persepsi,” ujar Kang Juna.
Perubahan Pandangan: Setelah Mendengar Penjelasan Langsung
Dalam kesempatan tersebut, Rijaluddin menjelaskan bahwa sorotan terhadap pabrik getah pinus bukan ditujukan untuk menolak keberadaan industri tersebut, melainkan mempertanyakan sistem regulasi yang berlaku saat ini. Ia menemukan bahwa Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2016 tentang Kehutanan tidak lagi dijalankan, dan telah digantikan oleh Permen LHK Nomor 8 Tahun 2021.
Menurutnya, kondisi ini justru merugikan masyarakat Aceh karena mengabaikan kekhususan daerah dan memberi peluang kepada pihak luar untuk menguasai hutan tanpa memperhatikan kesejahteraan rakyat lokal.
“Saya tidak menolak penderesan atau pabrik. Yang saya kritik adalah hilangnya peran regulasi lokal, yaitu Qanun Kehutanan Aceh, dalam mengatur dan melindungi masyarakat yang hidup dari hasil hutan,” jelas Rijaluddin.
Penjelasan tersebut kemudian menjadi titik balik bagi para narasumber. Mereka menyadari bahwa keberpihakan terhadap penderes justru akan lebih kuat jika Qanun Aceh ditegakkan kembali, karena Qanun itu memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat adat dan mendorong pengelolaan hutan yang adil serta berkelanjutan.
Pernyataan Dukungan dari Para Tokoh Muda
Setelah memahami maksud Rijaluddin, ketiga narasumber menyatakan dukungan penuh terhadap upaya mendorong kembali implementasi Qanun Kehutanan Aceh.
Syah Putra Ariga mengatakan, “Awalnya kami menolak karena merasa keluarga kami yang penderes akan dirugikan. Tapi setelah mendengar langsung, kami sadar bahwa perjuangan Pak Rijaluddin justru untuk melindungi mereka.”
Hendra Syahputra menambahkan, “Qanun ini bukan hanya soal hutan, tapi juga soal martabat masyarakat adat. Dengan Qanun, kita bisa mengatur sendiri bagaimana hutan dikelola, dan memastikan rakyat bukan hanya penonton.”
Sementara itu, Muhammad Rico menyoroti pentingnya dasar hukum yang kokoh dalam pembangunan berbasis lingkungan.
“Tanpa Qanun, semua bisa berubah sesuai kehendak pusat. Tapi dengan Qanun, kita punya pegangan, punya suara, dan punya arah,” ujarnya.
Rijaluddin: Qanun Adalah Pilar Otonomi Aceh
Rijaluddin menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2016 bukan sekadar produk hukum biasa, melainkan hasil perjuangan panjang rakyat Aceh dalam bingkai otonomi khusus.
“Qanun ini adalah simbol dan instrumen kedaulatan daerah. Kita tidak boleh biarkan ia dikubur oleh peraturan pusat yang seragam. Aceh punya kekhususan, dan kita wajib menegakkannya,” tegas Rijaluddin.
Ia juga berkomitmen untuk memperjuangkan agar Qanun tersebut kembali diberlakukan penuh melalui forum-forum resmi DPR Aceh, dan akan terus mengajak masyarakat memahami pentingnya kedaulatan dalam pengelolaan sumber daya alam.
Penutup: Dari Salah Paham ke Gerakan Bersama
Podcast ini menjadi contoh nyata bahwa dialog terbuka mampu menyatukan pemikiran dan menyelesaikan perbedaan secara konstruktif. Kesalahpahaman awal antara Rijaluddin dan tokoh muda Gayo Lues berhasil diluruskan, bahkan berujung pada dukungan dan gerakan bersama untuk mendorong implementasi Qanun Kehutanan sebagai landasan pengelolaan hutan yang adil, lestari, dan mensejahterakan. (red)