TLii | Salah satu ibadah yang harus dilakukan umat Islam sekaligus menjadi ukuran status keislaman seseorang adalah menunaikan zakat. Kewajiban zakat menjadi salah satu rukun Islam yang dilakukan dengan menyerahkan sebagian hartanya kepada orang lain. Dalam melakukannya, muzakki (orang yang berzakat) bisa memberikannya secara langsung kepada mustahiq (orang yang berhak) ataupun melalui orang lain yang disebut sebagai amil (pengelola zakat). Dalam hasil Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama tahun 2017 disebutkan definisi amil adalah orang yang diangkat oleh imam (pemerintah) untuk memungut, mengumpulkan dan mendistribusikan zakat kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya yaitu delapan ashnaf (golongan). Jadi amil pada dasarnya merupakan kepanjangan tangan imam dalam melaksanakan tugas yang terkait dengan zakat. Namun di masyarakat sampai saat ini, masih banyak ditemukan sekelompok orang yang ‘mengamilkan diri’ dan mengelola zakat, sedekah, dan infak. Kelompok ini dibentuk atas inisiatif dan prakarsa dari masyarakat atau swakarsa dan tidak mendapatkan legalitas dari pemerintah. Tak jarang mereka mengambil bagian dari zakat yang dikumpulkan karena merasa sudah menjadi amil.
Terkait dengan hal ini, hasil Munas NU tahun 2017 menegaskan bahwa panitia zakat yang dibentuk secara swakarsa oleh masyarakat, tidak termasuk amil yang berhak menerima bagian zakat. Hal ini karena mereka tidak diangkat oleh pihak yang berwenang yang menjadi kepanjangan tangan kepala negara dalam urusan zakat.
Lain halnya jika pembentukan tersebut sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku di mana minimal dicatatkan ke KUA untuk amil perseorangan atau amil kumpulan perseorangan. Hal ini berdasarkan Kitab Hasyiyah at-Tarmasi (Muhammad Mahfudl Termas, Hasyiyah at-Tarmasi, Jeddah-Dar al-Minhaj, cet ke-1, 1423 H/2011 M, juz, V, h. 404).
Muhammad Faizin
Sumber: https://islam.nu.or.id/syariah/beda-amil-dan-panitia-zakat-berdasar-hasil-munas-nu-2017-MmpGr