Oleh: Syahputra ArigaMahasiswa Ilmu Politik USK, Ketua Umum Perkumpulan Mahasiswa Gayo Lues Se-Indonesia
TLii | ACEH | GAYO LUES, Menyikapi dinamika perusahaan pinus yang saat ini kembali menjadi topik pembahasan hangat di berbagai lapisan masyarakat, kami memandang penting untuk menegaskan peran mahasiswa sebagai representasi rakyat. Kami berkewajiban menjalankan fungsi kontrol sosial agar masyarakat terhindar dari provokasi oknum tertentu yang berusaha memuluskan kepentingannya dengan menyebarkan pemahaman menyesatkan.
Hal yang mendasar untuk dipahami adalah, setiap perusahaan wajib melengkapi seluruh jenis perizinan sebelum beroperasi. Kepatuhan pada regulasi bukan sekadar formalitas, melainkan langkah penting untuk meminimalisir dampak yang ditimbulkan. Bukan sebaliknya—bertahun-tahun beroperasi meraup keuntungan tanpa aturan, lalu ketika ada tindakan penegakan hukum justru beralibi dan menyalahkan pihak yang mendorong kepatuhan.
Ketika sebuah perusahaan taat regulasi dan melengkapi perizinan, kami meyakini dampak negatif dapat ditekan seminimal mungkin, baik dari sisi lingkungan, ekonomi, maupun sosial. Berbeda halnya dengan perusahaan yang angkuh, yang hanya mengejar keuntungan semata tanpa mengindahkan kepentingan masyarakat. Mereka cenderung mengabaikan tanggung jawab sosial maupun kewajiban hukum.
Mengabaikan tanggung jawab terhadap aturan jelas akan merugikan masyarakat. Dampak negatifnya bersentuhan langsung dengan kehidupan rakyat, mulai dari kerusakan lingkungan, kesenjangan ekonomi, hingga masalah sosial. Oleh karena itu, kepatuhan terhadap aturan menjadi fondasi utama agar keberadaan perusahaan tidak menjadi beban, melainkan memberi manfaat.
Ironisnya, belakangan muncul pihak-pihak yang justru menyudutkan perusahaan yang taat aturan. Bagi kami, ini adalah bentuk kebodohan terstruktur yang tidak dapat dibiarkan. Perusahaan yang berdiri kokoh karena patuh regulasi seharusnya dijadikan teladan bagi yang ditutup atau diawasi, bukan malah dijelek-jelekkan dengan tuduhan tak berdasar. Sebagai contoh, ketika ada klaim bahwa penutupan perusahaan arogan yang abai perizinan menghambat penjualan getah, perusahaan yang patuh segera memberi penjelasan bahwa mereka siap menampung berapapun produksi masyarakat.
Bahkan, ketika beredar isu pembayaran macet, kami langsung mengonfirmasi kepada pihak manajemen perusahaan (Beben Suhartono). Dalam pertemuan itu, beliau menegaskan bahwa setiap barang yang masuk ke KHBL dibayar dengan sistem 70% langsung setelah barang diterima, kemudian 30% dilunasi setelah ditimbang dan dipastikan kualitasnya. Proses normal hanya memakan waktu satu hari, atau paling lama dua hari ketika stok menumpuk. Barang yang tidak sesuai standar akan ditinjau bersama pemasok, apakah dikembalikan, dinegosiasi, atau disesuaikan. Namun, selama pemasok jujur, pembayaran diproses dengan cepat dan transparan. “Kalau tidak percaya, silakan masukkan getah ke perusahaan kami,” tegas beliau.
Kesimpulannya, mahasiswa menegaskan bahwa inti persoalan dalam dinamika perusahaan pinus di Gayo Lues adalah kepatuhan pada perizinan dan regulasi. Perusahaan yang taat aturan terbukti menjaga keberlangsungan usaha, memberi manfaat nyata bagi masyarakat, serta meminimalisir dampak lingkungan dan sosial. Sementara itu, perusahaan yang abai aturan hanya mengejar keuntungan tanpa tanggung jawab, dan justru merugikan rakyat. Oleh sebab itu, perusahaan yang patuh regulasi harus diapresiasi serta dijadikan teladan, bukan malah dijadikan sasaran isu yang tidak berdasar. (red).