Oleh: [Jailani, S.Sos/Wartawan Timelines iNews Investigasi]
“Nangis dikasih HP, rewel dikasih HP. Lama-lama aneuk hana butuh ayah dan ibu, cukup HP dan kuota.”
Kalimat itu mungkin terdengar kasar bagi sebagian orang tua, tapi itulah kenyataan yang makin sering kita lihat di tengah masyarakat. Banyak orang tua yang kini memilih jalan pintas dalam menghadapi rengekan anak-anaknya. Tak tahan mendengar tangisan, lalu diberi handphone. Rewel sedikit, langsung dinina-bobokan dengan video YouTube.
Kita lupa, anak-anak sedang belajar mengenali dunia, belajar memahami batasan. Dan sayangnya, yang mereka pelajari adalah: kalau mau sesuatu, cukup menangis atau memaksa, maka semua akan diberi. Bukankah itu pola yang sangat berbahaya?
Seorang psikolog anak pernah berkata kepada saya, “Jangan sekali-kali menenangkan anak dengan handphone. Bahkan untuk sekadar memperlihatkan video Islami pun jangan. Karena itu akan menjadi kebiasaan.” Anak tidak belajar sabar, tidak belajar meminta dengan sopan, tidak belajar berinteraksi dengan lingkungan. Ia hanya belajar bergantung pada layar.
Lebih baik anak menangis karena tidak dituruti, daripada orang tua yang menangis di kemudian hari karena menyesal. Ajarkan anak meminta dengan kata “tolong” dan ucapkan “terima kasih” saat menerima. Karena anak yang hari ini belajar meminta dengan memaksa, akan menjadi orang dewasa yang menuntut lebih dari sekadar perhatian, bisa jadi uang, kendaraan, fasilitas, bahkan warisan.
HP memang tidak selalu berisi konten negatif. Tapi hari ini, akses menuju konten pornografi, pemikiran liberal, dan paham atheisme sangat mudah dijangkau, bahkan oleh anak-anak. Maka siapa yang harus membentengi mereka kalau bukan kita, orang tuanya?
Aneuk adalah amanah. Mereka ibarat gelas kosong. Jika kita tidak mengisinya dengan nilai-nilai agama, sopan santun, dan kasih sayang, maka lingkungan dan internetlah yang akan melakukannya. Dan kita tahu, tak semua lingkungan berniat baik.
Di Aceh, tempat Syariat Islam ditegakkan, sudah sepatutnya kita mulai lebih bijak. HP bukan musuh, tapi cara kita menggunakannya yang harus dikoreksi. Gunakan seperlunya, bukan sebagai pengasuh digital pengganti peran ayah dan ibu.
Mari kembali ke pelukan, bukan ke layar. Mari ajak anak melihat langit, bukan YouTube. Mari tanamkan nilai, bukan sekadar hiburan.
Karena kita tidak sedang membesarkan anak untuk hidup hari ini saja, tapi untuk masa depan yang lebih baik – baik untuk dirinya, keluarga, dan agamanya. (**)