Pagi itu, kabut masih menggantung di atas bukit kecil Blangkejeren. Di halaman sebuah sekolah dasar yang sunyi, langkah seorang perempuan berhenti sejenak. Pandangannya tertuju pada ruang kelas yang pintunya setengah terbuka. Di dalamnya, meja-meja berdebu, papan tulis mulai mengelupas, dan kursi-kursi kosong seakan menatap hampa.
Perempuan itu adalah Rahmah Wati, S.Pd., kepala sekolah baru yang mendapat amanah memimpin SD Negeri 4 Blangkejeren di tahun 2020 — tahun penuh ujian dan ketidakpastian, bukan hanya karena pandemi, tetapi juga karena sekolah yang akan ia pimpin hampir kehilangan segalanya.
“Saat pertama datang, saya hanya bisa diam. Tidak ada murid. Tidak ada suara belajar. Sekolah ini seperti kehilangan jiwanya,” kenangnya.
Sekolah negeri yang seharusnya menjadi tempat anak-anak belajar dan bermain, justru hampir dialihfungsikan menjadi kampus perguruan tinggi. Bagi sebagian orang, mungkin ini akhir. Namun, bagi Rahmah, ini justru awal perjuangan.
Harapan yang Tersisa di Tengah Sunyi
Rahmah tahu bahwa membangkitkan sekolah bukan sekadar memperbaiki gedung atau administrasi. Yang lebih sulit adalah mengembalikan kepercayaan masyarakat. Orang tua sudah terlanjur kecewa. Mereka menilai SD Negeri 4 Blangkejeren tidak lagi layak, tidak mampu bersaing, dan tak menjanjikan masa depan bagi anak-anak mereka.
Namun, Rahmah tidak menyerah. Dengan langkah kecil, ia mulai mengetuk satu per satu pintu rumah warga. Ia berbicara dengan lembut kepada para orang tua, tokoh agama, dan kepala desa. Ia mendengarkan keluhan mereka, mengakui kekurangan sekolah, lalu menawarkan harapan baru.
“Saya bilang kepada mereka, sekolah ini masih bisa hidup. Asal kita mau bersama-sama menyalakan lagi cahaya yang mulai padam,” tuturnya pelan.
Perlahan, keajaiban kecil mulai terjadi. Beberapa orang tua mulai percaya. Anak-anak mereka kembali datang ke sekolah. Dua murid pertama menjadi saksi awal kebangkitan itu.
Dua Murid yang Menghidupkan Sekolah
Saat kegiatan belajar dimulai kembali, hanya ada dua murid di ruang kelas. Namun, bagi Rahmah, dua murid itu sama berharganya seperti seratus. Ia menyapa mereka setiap pagi, menyiapkan ruang kelas dengan tangannya sendiri, bahkan menemani mereka makan siang di sekolah.
Namun, ujian datang cepat. Dua murid itu sempat berhenti sekolah karena jarak lokasi baru dianggap terlalu jauh. Hati Rahmah nyaris runtuh. Tapi dua hari kemudian, mereka kembali. Alasannya sederhana: mereka merasa nyaman dan disayangi di sekolah itu.
Itulah titik balik yang membuat Rahmah yakin, bahwa sekolah ini masih punya kehidupan.
Lahirnya Program BERSERI
Dari keresahan dan semangat itu, lahirlah sebuah gagasan: BERSERI (Belajar Sepanjang Hari).
Program ini bukan sekadar memperpanjang jam belajar, tapi juga menciptakan budaya belajar yang penuh makna — tempat anak-anak bisa belajar, beribadah, beristirahat, dan tumbuh dalam kasih sayang.
Setiap hari, kegiatan dimulai sejak pukul 07.00 pagi. Anak-anak disambut di gerbang sekolah, diajak senam pagi, membaca doa, belajar hingga siang, lalu makan bersama. Setelah itu, mereka berwudhu, sholat berjamaah, dan beristirahat sejenak. Sore harinya, mereka belajar mengaji, menyetor hafalan, hingga akhirnya pulang setelah sholat Ashar.
“Kami ingin sekolah menjadi rumah kedua bagi anak-anak. Di sini mereka belajar disiplin, sopan santun, dan rasa syukur,” ujar Rahmah dengan mata berbinar.
Program BERSERI juga sejalan dengan 7 KAIH (Kebiasaan Anak Indonesia Hebat) yang dicanangkan pemerintah. Bahkan, jauh sebelum program Makan Bergizi Gratis (MBG) digulirkan, SD Negeri 4 Blangkejeren sudah lebih dulu menerapkannya melalui kegiatan makan siang bersama.
Kebersamaan yang Menumbuhkan Harapan
Rahmah tidak hanya fokus pada murid, tapi juga membangun semangat para guru. Ia tahu, perubahan hanya mungkin terjadi jika guru kembali percaya pada dirinya sendiri. Maka, ia mengajak mereka berdiskusi, bergotong royong, dan belajar hal baru bersama.
Setiap akhir pekan, halaman sekolah ramai oleh tawa guru dan murid yang mengecat dinding, menanam bunga, memperbaiki pagar, dan membersihkan lingkungan. Sekolah yang dulu kusam kini menjadi taman kecil yang hidup — bersih, indah, dan penuh warna.
Ia juga memperkenalkan literasi digital dengan mengajarkan guru menggunakan aplikasi Canva, Wordwall, dan berbagai media belajar kreatif. “Kami belajar bersama, tertawa bersama. Sekolah menjadi tempat tumbuh, bukan sekadar tempat bekerja,” ujarnya.
Dari 56 Menjadi 238 Murid
Perlahan tapi pasti, hasilnya mulai terlihat. Jumlah murid yang dulu hanya 56 anak, kini meningkat menjadi 238 anak. Guru-guru kembali bersemangat, tidak lagi kekurangan jam sertifikasi, dan masyarakat mulai berlomba-lomba mendaftarkan anaknya ke SD Negeri 4 Blangkejeren.
Dinas Pendidikan yang dulu berencana menutup sekolah, kini justru memberikan apresiasi dan dukungan karena keberhasilan Rahmah menghidupkan kembali sekolah yang sempat dianggap “mati”.
Wajah sekolah berubah total — bukan hanya secara fisik, tetapi juga dalam semangat, disiplin, dan karakter para murid.
Sekolah yang Kembali Bersinar
Kini, setiap kali matahari sore menembus jendela ruang kelas dan menari di atas meja-meja belajar, Rahmah sering berhenti sejenak di depan pintu. Ia melihat anak-anak tertawa, mengaji, dan menulis dengan semangat. Di saat-saat seperti itu, ia selalu teringat masa-masa berat yang sudah ia lalui.
“Dulu sekolah ini hampir hilang. Tapi sekarang, lihatlah… mereka tertawa. Mereka bahagia. Itulah hadiah terindah bagi saya,” ucapnya lirih.
Bagi Rahmah, keberhasilan bukan hanya soal jumlah murid, atau program yang diakui pemerintah. Keberhasilan sejati adalah melihat anak-anak tumbuh dalam cinta dan bimbingan, dan menjadikan sekolah sebagai tempat yang mereka rindukan setiap hari
Dedikasi yang Menginspirasi
Kisah Rahmah Wati dan SD Negeri 4 Blangkejeren bukan sekadar kisah tentang sebuah sekolah yang bangkit. Ini adalah cerita tentang iman, cinta, dan kepemimpinan yang berakar dari keikhlasan.
Dari ruang kelas berdebu kini lahir semangat baru. Dari guru-guru yang sempat kehilangan arah kini tumbuh pemimpin pembelajar. Dan dari anak-anak yang dulu takut bermimpi kini muncul generasi yang berani bercita-cita.
“Saya percaya, ketika kita mengabdi dengan hati dan bekerja dengan cinta, maka cahaya pendidikan tak akan pernah padam,” tutup Rahmah dengan senyum.
Kini, SD Negeri 4 Blangkejeren benar-benar berseri — bukan hanya nama programnya, tapi juga cerminan dari seluruh perjalanan panjang mereka.
Sebuah bukti nyata bahwa dari keterpurukan, selalu ada harapan. Dari sekolah kecil di pelosok Gayo Lues, lahirlah cahaya besar untuk masa depan bangsa.
✍️ Penulis: Rahmah Wati, S.Pd
📝 Editor: Kang Juna