Timelinesinews.com>>Aceh Besar.Di tengah meningkatnya kekhawatiran terhadap penyebaran paham radikal di provinsi bersyariat Islam, Kementerian Agama (Kemenag) Aceh Besar terus menggencarkan langkah pencegahan melalui penguatan dakwah moderat. Salah satu upaya nyata dilakukan lewat kegiatan Pembinaan Dai-Daiyah bagi Penyuluh Agama Islam yang digelar di Aula Hotel Hijrah Lambaro, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar, Rabu (29/10/2025).
Kegiatan tersebut menghadirkan Dr. Mawardi, S.Th.I., M.A., Wakil Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-Raniry Banda Aceh, yang tampil sebagai narasumber utama. Dalam paparannya, Dr. Mawardi menekankan pentingnya peran penyuluh agama sebagai garda terdepan dalam memperkuat moderasi beragama dan menangkal ideologi kekerasan di tengah masyarakat.
“Penyuluh agama harus hadir dengan pendekatan kasih sayang, bukan dengan kebencian. Dakwah itu membangun kesadaran, bukan menumbuhkan ketakutan,” ujarnya di hadapan para peserta.
Ketua LP Ma’arif PCNU Aceh Besar menambahkan, di era digital saat ini, ruang penyebaran ideologi radikal semakin luas melalui media sosial dan platform daring. Karena itu, penyuluh agama dituntut mampu berdakwah dengan cara yang persuasif, humanis, dan cerdas dalam menghadapi narasi keagamaan yang menyesatkan.
“Fenomena radikalisme sendiri terus menunjukkan wajah baru di Indonesia. Sejumlah kasus keterlibatan perempuan dan anak muda dalam aksi teror menjadi sinyal kuat bahwa penyebaran ideologi ekstrem telah menembus lapisan masyarakat yang sebelumnya dianggap tidak berpotensi.,”ujarnya.
Mawardi menyebutkan pada 13 Mei 2018, publik dikejutkan dengan aksi bom bunuh diri satu keluarga di Surabaya yang dipimpin Dita Oepriarto dari Jamaah Ansharut Daulah. Tahun 2015, seorang pejabat BP Batam bersama istri dan anaknya diketahui berangkat ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS. Dua tahun kemudian, 12 Maret 2019, istri Abu Hamzah meledakkan diri di Sibolga, Sumatra Utara. Dan pada 31 Maret 2021, seorang perempuan kelahiran 1995 menyerang Mabes Polri menggunakan senjata api.
“Rangkaian peristiwa itu menunjukkan bahwa perempuan dan pemuda kini menjadi sasaran strategis kelompok radikal. Mereka digerakkan melalui jaringan ideologi, propaganda digital, serta penyalahgunaan simbol-simbol agama, ” sambungnya.
Lebih lanjut sosok nahdliyin yang aktif terlibat dalam kegiatan seminar nasional dan regional dalam mengkampanyekan anti radikalisme dan membumikan moderasi beragama itu mengatakan dalam sebuah riset nasional pada tahun 2020–2022 menunjukkan bahwa potensi radikalisme di Aceh berada pada tingkat sedang, dengan skor pemahaman keagamaan 72,39, sikap 51,60, dan tindakan 47,83.
Hasil ini menurutnya menandakan masih adanya kerentanan pemahaman dan kesenjangan antara idealisme keagamaan dan praktik sosial di masyarakat.
“Menanggapi hal itu, Kementerian Agama terus memperkuat strategi soft approach dalam pencegahan ekstremisme. Pendekatan ini dilakukan dengan memadukan nilai budaya dan kearifan lokal Aceh, seperti khanduri (kenduri adat), kesenian tradisional, serta ceramah keagamaan yang menanamkan semangat kebangsaan, nilai-nilai Pancasila, dan religiusitas yang beradab, “paparnya.
Pendekatan berbasis budaya menurut dosen UIN Ar-Raniry Banda Aceh ini dinilai efektif dalam menumbuhkan ketahanan sosial, membangun rasa cinta tanah air, serta mencegah munculnya sikap eksklusif dan intoleran di kalangan masyarakat. Di bidang pendidikan, Kemenag juga mendorong penguatan kurikulum lokal di lembaga-lembaga pendidikan untuk menanamkan nilai toleransi, adab, dan moderasi beragama sejak dini.
“Pencegahan radikalisme tidak bisa hanya dilakukan dari sisi keamanan, tetapi harus lewat jalur pendidikan, keluarga, dan lingkungan sosial,.
Kemenag juga menyoroti pentingnya kolaborasi lintas sektor antara aparat keamanan,pemerintah daerah, organisasi keagamaan, serta masyarakat sipil dalam memperkuat jejaring deradikalisasi,”pintanya.
Salah satu contoh nyata sinergi tersebut menurutnya adalah Program Kampung Moderasi, yang kini mulai diterapkan di sejumlah daerah di Aceh.Program tersebut menjadi ruang bagi tokoh agama, pemuda, dan masyarakat untuk bersama-sama membangun budaya dialog, menumbuhkan empati, serta memperkuat Islam yang damai dan inklusif.
“Tenrunya dengan pendekatan budaya, pendidikan, dan keteladanan yang berkelanjutan, Aceh diharapkan dapat menjadi daerah percontohan moderasi beragama di Indonesia. Sebagaimana pesan yang terus digaungkan para ulama dan tokoh bangsa: “Hubbul Wathan Minal Iman” — cinta tanah air adalah bagian dari iman, ” tutupnya. []



































