TLii | ACEH TENGGARA | KUTACANE — Kabupaten Aceh Tenggara hingga kini belum menerima kompensasi emisi karbon atas keberadaan hutan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang berada di wilayahnya. Padahal, sebagian besar kawasan konservasi itu menjadi penyerap dan penyimpan karbon penting di Sumatra.
Dari total sekitar 800.000 hektar luas TNGL di Provinsi Aceh dan Sumatera Utara, kurang lebih 274.000 hektar berada di dalam wilayah administrasi Aceh Tenggara. Namun, kontribusi finansial bagi pemerintah kabupaten maupun masyarakat setempat disebut masih nihil.
Bupati Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) Aceh Tenggara, M. Saleh Selian, menyayangkan kondisi tersebut. Ia menilai, besarnya peran hutan TNGL dalam menyerap karbon semestinya berbanding lurus dengan manfaat ekonomi yang diterima daerah.
“Keberadaan hutan TNGL di Aceh Tenggara sampai hari ini belum memberikan kontribusi rupiah bagi Pemkab dan masyarakat. Ini sangat miris, padahal fungsinya sebagai penyerap dan penyimpan karbon sangat vital,” ujar Saleh.
Saleh berpendapat, wajar jika Pemerintah Kabupaten Aceh Tenggara dan masyarakatnya mendapatkan kompensasi emisi karbon. Sebab, mereka ikut menjaga kelestarian hutan yang berkontribusi pada mitigasi perubahan iklim global.
Saleh mengungkapkan, sejumlah daerah lain di Indonesia sudah menikmati kompensasi emisi karbon melalui skema pembayaran berbasis kinerja (results-based payment) maupun skema karbon lainnya.
Ia mencontohkan, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur yang telah menerima pembayaran berbasis kinerja dari lembaga internasional seperti Bank Dunia. Selain itu, Provinsi Jambi juga disebut telah memanfaatkan potensi kehutanan sebagai salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) sekaligus mendukung agenda penurunan emisi.
“Daerah lain sudah menjadikan kompensasi emisi karbon sebagai tambahan pendapatan dan alat mitigasi perubahan iklim. Sementara Aceh Tenggara, yang punya kawasan hutan TNGL begitu luas, belum merasakan apa-apa,” kata Saleh.
Karena itu, ia mendorong pihak Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL) dan kementerian terkait agar memfasilitasi skema kompensasi bagi Aceh Tenggara atas peran hutan di wilayah tersebut.
Bupati Aceh Tenggara, HM Salim Fakhry, membenarkan bahwa hingga saat ini pemerintah kabupaten belum menerima dana kompensasi emisi karbon terkait keberadaan hutan maupun TNGL di daerahnya.
“Tidak ada satu rupiah pun dana kompensasi emisi karbon yang masuk ke Aceh Tenggara dari hutan dan hutan TNGL yang luasnya diperkirakan mencapai 274.000 hektare itu,” ujar Salim Fakhry.
Menurut dia, pemerintah daerah selama ini tetap menjalankan komitmen menjaga kelestarian hutan dan kawasan TNGL, meski belum ada skema pembagian manfaat (benefit sharing) yang jelas dirasakan di tingkat kabupaten.
Sementara itu, Kabid Teknis Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL), Andri Adnan, menyatakan pihaknya tidak terlibat langsung dalam pengelolaan dana kompensasi emisi karbon.
Andri menjelaskan, TNGL hanya merupakan bagian dari keseluruhan tutupan hutan di Aceh yang mencapai sekitar 2,6 juta hektar. Skema dana karbon, kata dia, selama ini lebih dikenal sebagai dana kompensasi emisi karbon “hutan Aceh” secara keseluruhan, bukan khusus untuk TNGL.
“Yang betul itu dana kompensasi emisi karbon hutan Aceh. Kami kurang tahu syaratnya, karena tidak pernah mengelola dana tersebut. Kalau mau tahu detailnya, lebih tepat tanya ke Kementerian Keuangan atau ke BPDLH,” kata Andri.
Ia menyebut, Pemerintah Aceh sebenarnya sudah pernah menerima dana karbon. Sebelumnya, dana tersebut disebut dikelola oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). Namun, ia mengaku tidak mengetahui secara pasti perkembangan terkini pemanfaatan dana tersebut.
Sejumlah pegiat lingkungan dan masyarakat sipil di Aceh Tenggara mendorong adanya kejelasan tata kelola dana karbon dan skema pembagian manfaat hingga ke tingkat kabupaten dan desa-desa sekitar hutan.
Mereka menilai, tanpa skema yang transparan dan berpihak kepada daerah pengampu kawasan, insentif bagi masyarakat untuk terus menjaga hutan akan lemah. Padahal, tekanan terhadap hutan baik dari perambahan, pembukaan lahan, maupun aktivitas ilegal lainnya masih terus terjadi.
M. Saleh Selian menegaskan, pemerintah pusat dan pemerintah provinsi perlu memastikan bahwa kabupaten yang wilayahnya menampung kawasan konservasi besar seperti TNGL tidak hanya menanggung beban pembatasan pemanfaatan ruang, tetapi juga mendapat bagian yang adil dari skema pendanaan iklim, termasuk kompensasi emisi karbon.
“Jika kompensasi emisi karbon sudah mengalir di tingkat nasional atau provinsi, maka Aceh Tenggara sebagai salah satu penyangga utama hutan TNGL seharusnya tidak dibiarkan terus berada di posisi nol rupiah,” ujarnya.
sumber : FB Saleh Selian




































