TLii SUMUT | Medan | Kota Medan kini tengah menghadapi krisis serius dalam tata kelola pemerintahan. Di bawah kepemimpinan Wali Kota Rico Waas dan Wakil Wali Kota Zakiyuddin Harahap, maraknya bangunan liar tanpa izin Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) dinilai sebagai bentuk kelalaian dalam penegakan hukum yang berdampak langsung pada kebocoran Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Hasil investigasi media mengungkap adanya pola kerja terstruktur yang melibatkan oknum dari tingkat kelurahan, kecamatan, hingga dinas teknis. Para oknum ini diduga memfasilitasi pembangunan ilegal dengan imbalan uang suap atau “uang tutup mulut.” Praktik semacam ini menjadikan regulasi sebagai komoditas tawar-menawar dan melemahkan pengawasan dari Dinas Perkimcitaru Kota Medan.
Salah satu kasus paling menonjol terjadi di Jl. Asrama, Simpang Pondok Kelapa, di mana sebuah bangunan usaha berdiri meski tidak memiliki izin PBG. Dinas teknis telah dua kali melayangkan surat pemberitahuan, bahkan Satpol PP telah menerbitkan surat eksekusi. Namun hingga kini, bangunan tersebut tetap berdiri kokoh dan hampir rampung.
Ironisnya, pejabat terkait, termasuk Kepala Satpol PP Rakhmat Adisyah Putra, enggan memberikan penjelasan ketika dikonfirmasi. “DJ” sebagai pemilik bangunan yang disebut-sebut juga memiliki hotel ternama di Medan, dan banyak mengenal para pejabat seakan-akan sedang “menguji” keberanian pemerintah kota untuk bertindak tegas.
Pengamat tata kelola pemerintahan, Shohibul Anshor Siregar (UMSU), menyebut bahwa fenomena ini mencerminkan governance failure — kegagalan sistemik dalam menjalankan fungsi pengawasan dan regulasi.
“Ketika kapital swasta menguasai birokrasi, aturan berubah menjadi komoditas. PAD yang seharusnya masuk ke kas daerah justru bocor ke kantong pribadi,” tegas Siregar.
Ia juga menyoroti praktik state capture — di mana pengambilan keputusan publik dikendalikan oleh elite tertentu untuk keuntungan sempit.
“Penundaan eksekusi bangunan ilegal, meskipun dokumen tidak lengkap, merupakan contoh nyata pembajakan regulasi,” tegasnya.
Untuk mengatasi krisis ini, Siregar merekomendasikan tiga langkah konkonkret.
Pertama, Audit menyeluruh dan publikasi data perizinan PBG untuk memastikan transparansi proses.
Kedua, Evaluasi dan rotasi pejabat teknis yang terindikasi terlibat atau lalai dalam pengawasan.
Ketiga, Pembentukan lembaga pengawas tata ruang independen, melibatkan akademisi, jurnalis, arsitek, dan masyarakat sipil.
Tanpa komitmen kepemimpinan yang kuat dan berintegritas, Kota Medan dikhawatirkan akan terus terjebak dalam siklus pembiaran, korupsi, dan pembangunan yang tidak terkendali.
Masyarakat kini menaruh harapan besar pada Wali Kota Rico Waas dan Wakilnya Zakiyuddin Harahap untuk bertindak tegas, memutus mata rantai praktik transaksional dalam birokrasi, dan menegakkan aturan demi pembangunan yang adil dan berkelanjutan.
Tim Redaksi.



































