Pulau Bisa Pindah, Tapi Maaf Tak Pernah Sampai

REDAKSI

- Redaksi

Jumat, 20 Juni 2025 - 22:18 WIB

201,006 views
facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Empat pulau kecil di Aceh mendadak menjadi bagian Sumatera Utara karena keputusan administratif yang ceroboh. Yang ditunggu rakyat bukan klarifikasi teknis, tapi kesadaran moral.

Oleh:

Samsul Edy, S.Hut.,M.Env.  Ketua Media Siber Pers Nasional Timelines Inews Investigasi

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

 

TLii | ACEH, Seandainya negara semudah itu meminta maaf, mungkin empat pulau kecil di Aceh tak akan sempat jadi yatim piatu administratif.

Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek—empat titik sunyi di Samudra Hindia—mendadak berpindah provinsi. Dalam Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025, wilayah itu ditetapkan sebagai bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Pulau-pulau yang sejak dulu secara sosial dan budaya terikat dengan Aceh Singkil, mendadak “dipindah domisili” oleh negara.

Ini bukan hoaks TikTok. Ini keputusan formal, bertanda tangan Tito Karnavian, Menteri Dalam Negeri. Publik pun geger. Bendera Gerakan Aceh Merdeka berkibar lagi—notabene bukan karena romantisme masa lalu, tapi karena kepercayaan publik pada negara mulai retak.

Di Aceh, suara gaduh menggema dari warung kopi hingga jalanan. Tagar #EmpatPulauUntukAceh menjadi simbol perlawanan digital. Spanduk “Kami Bukan Sumut” terpampang di banyak sudut desa. Di udara, ketegangan menggantung. Bahkan, Gubernur Aceh terlihat menahan emosi dalam wawancara podcast nasional.

Pemerintah Pusat terlambat menyadari magnitude dari SK itu. Butuh intervensi Presiden Prabowo Subianto untuk menenangkan situasi. Dalam pernyataan ringkas namun penuh bobot, Prabowo berkata, “Empat pulau itu milik Aceh. Titik.” Seperti kutipan dari Mahabharata, kalimat itu menyudahi perdebatan, mengalahkan ribuan lembar SK dan peta birokrasi.

Namun, publik masih menyisakan satu pertanyaan: bagaimana mungkin seorang menteri bisa menggeser batas wilayah tanpa komunikasi dengan presiden?

Pengamat politik menilai langkah Tito sebagai tindakan gegabah. Jamiluddin Ritonga dari Universitas Esa Unggul menyebutnya provokatif. Shohibul Ansor Siregar dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara bahkan menyarankan Tito untuk mengundurkan diri.

Namun tak ada permintaan maaf keluar dari bibir sang menteri. Yang ada hanya klarifikasi penuh istilah teknokratis. Ia menyebut keputusan itu merujuk pada Kepmendagri 111/1992 dan peta topografi TNI AD tahun 1978. Rakyat menanggapi dengan getir: mengapa dokumen-dokumen tua itu baru dibuka setelah keributan terjadi?

Di sinilah letak masalahnya. Bukan sekadar soal pulau atau peta, melainkan soal cara kekuasaan memahami rakyat. Dalam krisis semacam ini, publik tak menuntut birokrasi menjelaskan peta. Mereka hanya menunggu satu kalimat sederhana: “Saya minta maaf.”

Tapi, tampaknya kata “maaf” tak tersedia di rak arsip kementerian. Padahal, dalam negara demokrasi, kesalahan bukan aib. Yang aib justru adalah menolak mengakui kesalahan dengan dalih teknis.

Kini, empat pulau itu telah kembali ke Aceh. Tapi luka kepercayaan tetap terbuka. Nama Tito mungkin akan tetap tercatat dalam sejarah sebagai menteri yang nyaris memindahkan batas negara hanya karena kelalaian administratif—dan kegagalan untuk bersikap rendah hati di hadapan rakyat.

Kita bisa memindahkan wilayah dengan peta, tapi kita tak bisa memulihkan kepercayaan dengan klarifikasi. Rakyat Aceh akan mengingat momen ini bukan karena akhirnya menang, tapi karena pernah dikhianati tanpa satu pun kata maaf.

Ketika Birokrasi Lupa Berbicara dengan Hati

Empat pulau yang sempat “salah alamat” ini bukan sekadar kesalahan koordinat. Ini adalah gejala kronis dari pemerintahan yang terlalu teknokratis dalam mengurus hal-hal yang sangat manusiawi: identitas, asal-usul, dan rasa memiliki.

Negara seolah lupa, wilayah administratif bukan sekadar garis di peta, melainkan simpul hidup yang menjalin sejarah, bahasa, dan solidaritas sosial. Warga di sana bukan pion di papan catur, yang bisa digeser atas nama data historis yang baru ditemukan, tanpa ada ruang dialog.

Kementerian Dalam Negeri berdalih mereka hanya menjalankan proses “normalisasi data wilayah”, berdasarkan arsip lama. Namun kealpaan mendasar justru ada pada sikapnya yang minim empati dan komunikasi publik. Seakan, rakyat hanya pelengkap dari keputusan-keputusan elite yang sibuk membaca peta, tapi tak pernah turun ke tanah.

Padahal, dalam sistem demokrasi yang sehat, legitimasi sebuah kebijakan bukan hanya berasal dari validitas dokumen, tetapi dari proses partisipasi dan pengakuan terhadap suara warga.

 

Peta Boleh Tua, Tapi Luka Bisa Baru

Yang paling mencolok dari episode ini adalah kemunculan dokumen tua justru setelah api konflik menyala. Bagaimana bisa, sebuah kementerian yang mengatur teritorial negara tidak tahu atau tidak peka terhadap sensitivitas tapal batas Aceh?

Ini bukan pertama kalinya masalah perbatasan menjadi bara dalam sekam. Indonesia sudah punya banyak contoh: perbatasan Kalimantan, status kawasan adat Papua, hingga konflik agraria di berbagai wilayah. Tapi tetap saja, pendekatan administratif selalu lebih cepat daripada pendekatan dialog.

Alih-alih mengundang masyarakat untuk mendiskusikan kejelasan wilayah, Kemendagri justru langsung mengeluarkan SK. Bagi rakyat kecil, surat itu bisa berarti kehilangan tanah, identitas, bahkan pengakuan sejarah. Namun bagi pejabat, tampaknya itu hanya dokumen yang bisa dikoreksi jika situasi mulai ricuh.

 

Dari Peta Menuju Etika Kepemimpinan

Kasus ini menegaskan satu hal: di negeri ini, tanggung jawab moral bukan sesuatu yang diajarkan, apalagi dicontohkan. Ketika krisis meruncing, sebagian pejabat memilih bersembunyi di balik meja kerja dan data peta, bukan berdiri di tengah rakyat untuk menjelaskan dan, jika perlu, meminta maaf.

Tito Karnavian mungkin tidak sepenuhnya salah. Tapi ia jelas gagal membaca suasana kebatinan rakyat Aceh. Ia gagal memahami bahwa di tengah luka sejarah yang belum benar-benar sembuh, pergeseran status wilayah bisa terbaca sebagai bentuk pengingkaran terhadap eksistensi mereka.

Yang publik butuhkan bukan sekadar penarikan ulang SK, tapi pengakuan bahwa negara bisa keliru, dan bahwa rakyat berhak mendapat permintaan maaf, bukan hanya klarifikasi.

Sialnya, di republik ini, meminta maaf dianggap kelemahan. Padahal justru di situlah letak kekuatan seorang pemimpin—berani mengakui salah, sebelum rakyat memaksanya.

Epilog: Negara Tak Boleh Sekadar Menghafal Peta

Empat pulau itu kini kembali ke Aceh. Tapi publik tahu: negara pernah gamang, pernah gegabah. Dan luka semacam ini tak sembuh hanya karena SK dibatalkan.

Apa yang dilakukan Tito bukan hanya soal kesalahan administratif. Ia telah memberi preseden berbahaya: bahwa wilayah bisa digeser tanpa partisipasi, bahwa masyarakat bisa diabaikan, dan bahwa pejabat bisa lepas tanggung jawab tanpa harus meminta maaf.

Pulau boleh kembali. Tapi trauma tetap tinggal.

Seandainya saja beliau minta maaf, mungkin cerita ini akan dikenang sebagai kekhilafan yang diperbaiki. Tapi sayang, dalam kamus kekuasaan kita, kata “maaf” sering kali tercecer di rak yang paling berdebu.

Publisher : (Tim Red)

Berita Terkait

Menkum Supratman Galang Dukungan China untuk Inisiatif Indonesia Soal Royalti Digital di Forum China–ASEAN Xi’an
Wagub Aceh Buka Friendship Run UAE–Indonesia 2025, Apresiasi Komitmen Investasi Mubadala Energy
Pepatah “Tuntutlah Ilmu hingga ke Negeri China” Dibuktikan oleh Guru SMAN 1 Kuala Bireuen
Biro Perencanaan Kemensos RI Gelar FGD Evaluasi dan Monitoring Sekolah Rakyat di Aceh Besar, 
Plt Sekda Gayo Lues dr. Nevi Rizal: Semangat Hari Dokter Nasional 2025, 75 Tahun IDI Berkarya Membangun Kesehatan Bangsa
Mahasiswa dan Masyarakat Aceh Bersatu, Gelombang Penolakan Tambang Emas di Gayo Lues, KMMB Aceh Laporkan PT GMR ke Aparat Hukum
POLRES GAYO LUES UNGKAP 1,95 TON GANJA, 2,7 KG SABU, 28 BUTIR EKSTASI, DAN 60 HEKTARE LADANG GANJA — CATAT SEJARAH BARU PEMBERANTASAN NARKOBA DI TANAH SERIBU BUKIT
Rapat Bersama KPK, Sekda Aceh Targetkan 95 Persen Capaian MCSP Aceh 2025

Berita Terkait

Senin, 27 Oktober 2025 - 21:40 WIB

Sat Reskrim Polres Pelabuhan Belawan Tangkap Pelaku Penganiayaan Berat Terhadap Adik Kandung

Senin, 27 Oktober 2025 - 20:42 WIB

Tingkatkan Kedisiplinan dan Keamanan, Lapas Kelas IIA Binjai Laksanakan Kontrol Blok Hunian

Senin, 27 Oktober 2025 - 20:33 WIB

Lapas Kelas IIA Binjai Gelar Razia Gabungan Bersama Polres Binjai, Wujudkan 13 Akselerasi Menteri Imigrasi Dan Pemasyarakatan

Senin, 27 Oktober 2025 - 20:17 WIB

Pemenuhan Hak Dasar Warga Binaan Lapas Kelas I Medan Bagikan Perlengkapan Makan, Minum, dan Sandang untuk 2.884 Warga Binaan

Senin, 27 Oktober 2025 - 20:06 WIB

Lapas Padangsidimpuan Wujudkan Hak Pendidikan Warga Binaan Lewat Program Baca Tulis

Senin, 27 Oktober 2025 - 19:58 WIB

Petugas Kesehatan Di Lapas Padangsidimpuan Lakukan Cek Kesehatan untuk Warga Binaan Wanita

Senin, 27 Oktober 2025 - 19:51 WIB

Lapas Padangsidimpuan Gelar Pembelajaran Iqra dan Al-Quran di Mesjid Al-Ikhlas

Senin, 27 Oktober 2025 - 19:42 WIB

Lapas Perempuan Medan Gelar Tes Urine, Pertegas Komitmen Lingkungan Zero Narkoba

Berita Terbaru