TLII>>ACEH TENGAH – Di tengah gelombang banjir bandang yang melanda sebagian besar wilayah Aceh Tengah pada 26 November 2025, muncul satu sosok yang diam-diam menjadi penyambung informasi dari daerah terisolir. Dia adalah Edy, pemuda asal Lhokseumawe yang sehari-hari berprofesi sebagai Peneliti Ilmu Lingkungan.

Edy awalnya berada di kawasan Blangkejeren, Aceh Tenggara, hingga Aceh Tengah dalam rangka Tour Kegiatan Akhir Tahun usai melakukan penelitian di wilayah pegunungan Leuser. Rencananya, ia akan kembali ke Banda Aceh keesokan harinya. Namun rencana itu berubah total ketika bencana datang tiba-tiba.
“Air tiba-tiba datang menghantam. Arusnya deras, besar, dan langsung menyapu jalanan serta pemukiman,” ujar Edy dalam laporannya.
Beruntung, berkat naluri bertahan hidup dan disiplin peralatan yang selalu ia bawa di dalam ransel hitam kesayangannya, Edy berhasil menyelamatkan diri. Di dalam ransel itu, ia selalu membawa perlengkapan darurat: satellite phone, solar charger, radio HT VHF/UHF, senter, serta bekal makanan untuk tiga hari.

Peralatan itu yang kemudian mengubah posisinya: dari seorang peneliti menjadi garda komunikasi pertama dari wilayah yang terputus total. Ia mulai mengirimkan informasi kondisi lapangan ke rekan-rekannya di luar daerah. Informasi itu menjadi sangat vital bagi relawan, komunitas peduli bencana, serta jejaring teman Edy di berbagai kota, termasuk Jakarta.
Melihat situasi darurat dan minimnya akses bantuan, teman-teman Edy mulai menyalurkan dukungan. Mereka mempercayakan Edy untuk menjadi jembatan awal penyaluran bantuan, meskipun dengan segala keterbatasan.

“Sedikit demi sedikit, ada yang mengirim dukungan. Saya belikan sembako—apa saja yang masih bisa ditemukan. Lalu saya bagikan ke warga terdampak,” terang Edy.
Di tengah kondisi Aceh Tengah yang mulai kehabisan stok kebutuhan pokok akibat rusaknya akses dan jalur logistik, Edy terus bergerak. Ia menggunakan sisa persediaan logistik pribadinya dan bantuan yang masuk untuk menjangkau masyarakat Takengon dan sekitarnya.
Distribusi terus berjalan, meski menantang. Edy tetap mengutamakan kawasan yang belum tersentuh bantuan.

Aksinya yang bermula dari niat bertahan hidup kini berkembang menjadi gerakan kecil namun berarti. Dalam situasi ketika jaringan komunikasi lumpuh dan akses darat terputus, satu perangkat satelit dan satu tekad kuat mampu menerobos keterisolasian.
Di balik bencana dan kepanikan, kisah Edy menghadirkan harapan—bahwa di tengah keterbatasan, kepedulian seorang manusia dapat menjadi cahaya pertama bagi banyak orang.


































