TLii | Aceh |Kutacane — Sabtu, 7 Juni 2025, Suasana malam di Warkop Reda Kuning 2, Kecamatan Bambel, Kutacane, Aceh Tenggara, tampak lebih hidup dari biasanya. Di tengah gelas-gelas kopi yang mengepul dan obrolan warga yang bersahutan, malam itu menjadi saksi perbincangan hangat antara Para Tokoh Gayo Aceh Tenggara yang peduli pada nasib masyarakat tani di wilayah ini: Kang Juna, jurnalis lokal yang Humanis dikenal dengan reportase sosialnya yang membumi, dan Ridwan Tamara, Ahmad dan Sultan Mahdi, tokoh masyarakat Gayo di Aceh Tenggara yang vokal memperjuangkan aspirasi petani.
Obrolan yang berlangsung santai namun sarat makna ini menyoroti realitas keseharian petani di Aceh Tenggara—sebuah wilayah agraris yang bertumpu pada hasil pertanian seperti padi dan jagung. Namun di balik kehijauan ladang dan hasil panen yang tampak stabil, tersembunyi tekanan ekonomi yang terus menghimpit para petani kecil.
Menurut Ridwan, situasi petani saat ini bisa dikatakan masih dalam taraf “normal”. Harga komoditas seperti padi, jagung, kakao, dan hasil tani lainnya relatif stabil. “Istilah orang sini, nanam padi dan jagung masih ‘rata jadi’—nggak gagal panen, hasilnya masih masuk akal,” ungkapnya sambil menyeduh kopi panas.
Namun di balik kestabilan itu, ada cerita getir. Biaya produksi pertanian melonjak drastis. Harga pupuk, pestisida, dan obat-obatan pertanian membebani petani kecil. “Dulu, satu parah padi—sekitar 180 kilogram—nilainya bisa ditukar dengan satu mayam emas atau seekor kambing indukan. Sekarang? Jangankan kambing, buat beli pupuk aja kadang nggak cukup,” ujarnya sambil terkekeh pahit.
Ridwan menyadari, harga emas memang mengikuti fluktuasi nilai tukar dolar. Tapi kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa daya beli petani tidak ikut naik. “Sekarang harga padi di kisaran Rp1.500.000 per parah, kambing indukan Rp2.500.000, sementara emas sudah tembus Rp5 juta lebih per mayam. Keseimbangan masa sekarang sudah nggak relevan lagi,” ujarnya.
Kondisi makin sulit ketika harga kebutuhan pokok seperti minyak goreng, gula, dan tepung ikut meroket. “Hasil panen mungkin stabil, tapi biaya hidup naik terus. Itulah yang bikin ekonomi sosial petani makin rapuh,” tambahnya.
Ridwan berharap ada intervensi nyata dari pemerintah, terutama dalam bentuk subsidi yang menyentuh langsung kebutuhan dasar petani: bibit, pupuk, dan obat-obatan. “Kalau pemerintah bisa menekan harga input pertanian lewat subsidi atau regulasi harga, itu sangat membantu,” ujarnya.
Meski ia mengakui bahwa efisiensi anggaran atau realisasi kegiatan pemerintah belum terlalu terasa tahun ini di tingkat akar rumput, harapan masyarakat tetap besar. “Kami ngerti pemerintah banyak beban. Tapi setidaknya beri kami alat untuk bertahan. Jangan biarkan kami bertani dalam sunyi,” ucapnya.
Kang Juna menutup obrolan malam itu dengan pertanyaan reflektif, “Jadi ke depan, kita harus bagaimana?”
Ridwan hanya tersenyum tipis. “Yang penting tetap menanam,” katanya pelan. “Tapi suara petani jangan sampai hilang. Karena kami menanam bukan hanya untuk hidup, tapi untuk negeri ini terus bertumbuh.”
Reporter: Kang Juna
Editor: Redaksi Jejak Desa
Foto: Warkop Reda Kuning 2, Bambel – Sabtu malam (7/6)

































