Timelinenews |Sulteng- Menjadi guru di pedalaman bukan hanya soal profesi, melainkan panggilan jiwa yang menuntut pengorbanan besar. Sejak tahun 2023, seorang guru di Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, harus menelan kenyataan pahit: mengabdi untuk negeri, tapi terpisah jauh dari keluarga kecil yang ia cintai.
Sebelum resmi diangkat sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) berstatus PKKK, ia sudah mengabdikan diri sebagai tenaga sukarela di sebuah SMK di selatan Kabupaten Poso.
Ia mengajar dengan tulus, tanpa mengeluh, meski tanpa jaminan gaji yang pasti. Namun, setelah SK penempatan keluar, takdir membawanya ke Lore Tengah wilayah pegunungan dengan akses jalan terjal, jaringan internet yang sering putus, dan cuaca dingin menusuk.
“Sebagai guru, saya sadar siap ditempatkan di mana saja. Tapi yang paling berat adalah harus jauh dari keluarga. Anak-anak saya masih kecil, mereka butuh saya. suami saya juga guru, jadi tidak bisa ikut. Kami terpaksa hidup terpisah,” katanya dengan suara bergetar.
Perpisahan itu bukan sekadar jarak geografis, melainkan luka batin yang terus menganga. Setiap hari ia hanya bisa melepas rindu lewat panggilan singkat, sementara di rumah, sang istri harus memikul beban ganda: mendidik anak sekaligus mengurus keluarga seorang diri. Momen bersama yang seharusnya hangat kini berubah menjadi jarang dan penuh air mata.
Di tempat tugasnya, tantangan semakin menyesakkan. Jalan menuju lokasi tugas yakin alamat sekolah rusak parah, hujan membuat jalur licin, dan internet kerap hilang padahal laporan guru kini berbasis online. Udara dingin pegunungan menambah tekanan.
Lebih memilukan lagi, tidak ada rumah dinas yang disediakan pemerintah. Guru ini terpaksa menyewa kontrakan seharga Rp500 ribu per bulan sekitar 25 persen dari gaji pokok yang ia terima.
“Bayangkan, seperempat gaji habis hanya untuk kontrakan. Belum lagi biaya makan, transportasi, dan kebutuhan lain. Kalau terus begini, bagaimana kami bisa bertahan? Kami butuh solusi nyata. Setidaknya ada rumah dinas untuk guru di pedalaman,” pintanya penuh harap.
Harapan sederhananya: bisa dimutasi ke sekolah yang lebih dekat dengan rumah agar tidak lagi terpisah dari istri dan anak-anak. Ia juga memohon agar pemerintah provinsi, khususnya Dinas Pendidikan, serius memperhatikan kesejahteraan guru di daerah terpencil.
Potret Buram Pendidikan di Pedalaman
Kisah ini bukan sekadar curhatan pribadi, melainkan potret buram wajah pendidikan di pedalaman Sulawesi Tengah. Sering kali guru dipandang hanya sebagai angka dalam formasi pegawai. Namun, di balik angka itu ada manusia dengan hati, ada seorang ayah yang dirindukan anak-anaknya, ada suami yang ditunggu istrinya setiap malam.
Program “Berani Cerdas” yang digagas Gubernur Anwar Hafid dan Wakil Gubernur Reni Lamajido memang menjanjikan pendidikan gratis dan akses luas bagi masyarakat. Namun, program secemerlang apa pun akan kehilangan makna jika ujung tombaknya “guru” dibiarkan berjuang sendiri dalam keterbatasan.
Kualitas pendidikan tidak hanya ditentukan oleh gedung sekolah megah atau akses internet yang menjangkau desa. Kualitas pendidikan sejati lahir dari guru yang tenang jiwanya, sejahtera hidupnya, dan penuh semangat mengajar.
Jika penempatan guru hanya sebatas memenuhi kuota tanpa mempertimbangkan sisi kemanusiaan, maka yang lahir adalah guru-guru yang bekerja dengan hati letih. Mereka hadir di kelas, tapi kreativitas dan dedikasi terkikis oleh beban hidup yang berat.
Desakan untuk Pemerintah Provinsi
Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah harus segera mengambil langkah konkret. Rumah dinas untuk guru di pedalaman bukan lagi sekadar wacana, melainkan kebutuhan mendesak. Tunjangan khusus bagi guru di daerah terpencil harus ditingkatkan. Sistem penempatan harus dikaji ulang agar tidak mengorbankan keluarga.
Pertanyaan besar kini menggantung : bagaimana mungkin kita berharap lahir generasi emas di Sulawesi Tengah jika guru-gurunya dipaksa berkorban terlalu banyak, hingga kehilangan momen berharga bersama keluarga mereka sendiri?
Ini bukan hanya tentang guru di Lore Tengah. Ini tentang martabat pendidik yang seharusnya dijaga. Tentang masa depan pendidikan yang ditentukan oleh bagaimana pemerintah memperlakukan mereka yang berdiri di depan kelas, mendidik anak-anak bangsa dengan hati penuh luka tapi tetap memilih mengabdi.
Penulis: Stenlly Ladee

































