TLii | KISAH Inspiratif, 20 Juli 2025 – Di antara rimbun pegunungan dan semilir angin pedesaan Aceh Tenggara kecamatan Bambel, tepatnya di Desa Kuning Dua, lahir seorang pemuda yang kini menorehkan kisah inspiratif tentang harapan, perjuangan, dan pendidikan. Dialah Wanda Farmizal, putra sulung dari pasangan Ridwan Tamara dan Nurmani, keluarga petani yang hidup bersahaja. Dari tanah yang diolah dengan tangan sendiri dan peluh yang menetes saban hari, mereka membesarkan tiga anak dengan bekal doa dan nilai-nilai kehidupan yang kokoh. Dan Wanda, sang anak pertama, kini tengah menempuh pendidikan Magister Ilmu Politik dan Pemerintahan di Universitas Gadjah Mada (UGM)—salah satu kampus paling bergengsi di republik ini.
Namun, perjalanan Wanda tak semulus jalan aspal. Ia bukan anak orang berada, bukan pula jebolan sekolah elite. Justru sebaliknya—ia anak desa yang hidup dalam keterbatasan, namun memiliki semangat yang tak terbatas. Semangat itulah yang mulai tumbuh saat ia menimba ilmu di Pesantren Darul Amin, sebuah lembaga pendidikan berbasis nilai keislaman yang kental dengan kedisiplinan. Di sana, ia dididik bukan hanya untuk cerdas, tapi juga untuk kuat secara mental dan tahan banting dalam hidup.
Banyak guru di pesantren itu merupakan alumni Gontor—pondok modern yang terkenal melahirkan intelektual-intelektual berkarakter. Dari para gurunya, Wanda mendapat inspirasi besar untuk melanjutkan studi di Yogyakarta. Cita-cita itu tumbuh diam-diam, lalu mengakar kuat. Maka selepas tamat dari pesantren, ia mantap memutuskan pergi ke Yogyakarta—seorang diri, tanpa didampingi siapa pun. Ia hanya membawa restu dari orang tua, tekad dari dalam hati, dan keyakinan bahwa ilmu adalah cahaya yang akan membuka jalan hidup.
Di Yogyakarta, Wanda mengirim lamaran ke beberapa perguruan tinggi. Ia tahu betul bahwa persaingan ketat, dan biaya bukan perkara sepele. Namun takdir berpihak padanya. Ia diterima di Universitas Respati Yogyakarta (UNRIYO), bahkan mendapatkan beasiswa. Di kampus ini, Wanda menekuni jurusan Ilmu Politik dan mulai menapaki jalan akademik yang lebih serius.
Namun Wanda bukan tipe mahasiswa yang hanya duduk manis di ruang kuliah. Ia aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan, ikut diskusi, kegiatan sosial, hingga forum-forum kebangsaan. Karakternya yang hangat, mudah bergaul, dan rendah hati membuatnya diterima di berbagai kalangan. Ia dikenal menjaga hubungan baik dengan teman-teman masa kecilnya, sahabat pesantren, dan juga rekan seperjuangan di perantauan. Dunia organisasi akhirnya mempertemukannya dengan komunitas mahasiswa Aceh Tenggara di Yogyakarta. Tak lama, ia dipercaya menjadi Ketua Ikamara Yogyakarta—organisasi paguyuban mahasiswa Aceh Tenggara. Sebuah tanggung jawab besar yang ia emban dengan penuh dedikasi.
Waktu berjalan. Setelah menyelesaikan studi S1-nya dengan hasil memuaskan, Wanda kembali menantang dirinya. Kali ini, ia menargetkan kampus yang lebih besar dan lebih kompetitif: Universitas Gadjah Mada. Sebuah mimpi besar dari seorang anak desa, yang dulu hanya menatap nama UGM dari jauh. Ia mengikuti seleksi substansi Magister Ilmu Politik dan Pemerintahan di FISIPOL UGM. Dan pada 7 Februari 2025, Wanda resmi dinyatakan lulus sebagai peserta gelombang pertama. Nilai ujian substansinya menembus batas minimal—bukti bahwa kerja keras tak pernah mengkhianati hasil.
Kabar itu pun membahana sampai ke kampung halaman. Dari surau kecil hingga pos ronda, nama Wanda disebut-sebut dengan bangga. Ia bukan hanya milik keluarganya, tapi milik semua anak desa yang menyimpan mimpi dalam diam. Kepala Desa Kuning Dua, Zulkifli, menyambut kabar itu dengan haru. “Ini bukan hanya keberhasilan pribadi. Ini keberhasilan kolektif. Wanda telah membuktikan bahwa anak desa bisa bersaing secara nasional. Ia menjadi cermin untuk generasi muda kita.”
Dukungan juga datang dari desa Tetangga, Kepala Desa Cinta Damai, Idham Khalid, yang menegaskan bahwa pendidikan adalah jalan strategis menuju kemajuan desa. “SDM yang unggul adalah kunci perubahan. Desa tak bisa hanya mengandalkan sumber daya alam—kita butuh manusia-manusia seperti Wanda yang bisa membawa ide, inovasi, dan solusi untuk pembangunan,” ujarnya.
Kebiasaan membaca dan menulis menjadi bagian penting dalam pembentukan karakter Wanda. Ia menyukai buku-buku sejarah dan biografi tokoh nasional. Dari situlah ia belajar bahwa perubahan besar selalu dimulai dari langkah kecil yang konsisten. Wanda menjadikan ilmu bukan sekadar alat untuk mendapat gelar, tapi sebagai cara untuk memahami, mengabdi, dan membangun.
Makna Perjuangan
Kisah Wanda adalah kisah tentang tekad yang tak goyah meski diterpa keterbatasan. Tentang keberanian melangkah keluar dari zona nyaman. Tentang bagaimana doa orang tua bisa menjadi bahan bakar terkuat bagi langkah seorang anak. Ia adalah bukti bahwa garis awal bukan penentu garis akhir. Bahwa lahir di desa tidak berarti harus kalah bersaing dengan anak kota. Dan bahwa keberhasilan itu tak harus menunggu fasilitas—cukup dengan tekad, niat baik, dan kerja keras yang konsisten.
Pesan dari Kampung Halaman
Di tengah kabut pagi dan semilir angin Desa Kuning Dua, doa-doa terbaik terus mengalir:
“Selamat berjuang di perantauan menuntut ilmu, Wanda. Tetap rendah hati, tetap semangat, dan jangan lupa dari mana kamu berasal. Kami bangga padamu. Semoga ilmu yang kau raih kelak menjadi pelita bagi daerah kita. Jangan pernah lupa daratan—karena di sanalah akar perjuanganmu tumbuh. Kami menunggumu pulang, membawa cahaya untuk desa tercinta.”
(Editor – Kang Juna)

































