TLii | ACEH | Blangkejeren | Selasa, 19 Agustus 2025 – Seni tari Saman kembali menjadi perhatian serius di Kabupaten Gayo Lues. Sejak ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda dunia oleh UNESCO, Saman tidak hanya menjadi kebanggaan masyarakat Gayo, tetapi juga simbol identitas Aceh di panggung internasional. Namun, setelah pengakuan itu, muncul tantangan baru: bagaimana menjadikan Saman sebagai sumber manfaat nyata, khususnya bagi para seniman dan masyarakat Gayo Lues.
Tantangan Akses dan Terobosan Baru
Dalam bincang-bincang santai bersama Kang Juna di Dinas Pariwisata Gayo Lues, Syamsul Bahri, S.Pd, M.AP, Dewan Pakar Saman sekaligus Plt. Kepala Dinas Perindagkop, menegaskan bahwa akses seniman terhadap kegiatan nasional maupun internasional masih sangat terbatas. Menurutnya, ruang tersebut penting sebagai pintu besar agar Saman tampil lebih luas, tidak hanya di tingkat nasional, tetapi juga di kancah dunia.
> “Kalau kita ingin Saman benar-benar menjadi ikon daerah yang mendunia, maka sinergi harus dibangun. Tidak cukup hanya mengandalkan APBD, kita juga harus merangkul DPR RI, DPRA, Kementerian Pariwisata, Kementerian Kebudayaan dan Ekonomi Kreatif, bahkan jaringan investor yang tertarik pada nilai budaya,” tegas Syamsul Bahri.
Ia menambahkan, momentum pameran dan festival budaya merupakan ajang strategis untuk memperkenalkan Saman di mata dunia. Lebih jauh lagi, kehadiran Saman dalam event internasional bisa membuka pintu investasi, mulai dari sektor pariwisata, perdagangan, hingga ekonomi kreatif.
Gagasan Saman Center
Syamsul Bahri juga mengingatkan kembali gagasannya sejak 2014 mengenai pembangunan Saman Center. Menurutnya, keberadaan pusat pengembangan, pelestarian, dan promosi budaya tersebut sangat penting sebagai wadah belajar, penelitian, hingga pertunjukan.
“Sudah lebih dari sepuluh tahun wacana ini berjalan, tetapi belum terealisasi. Padahal, Saman Center bisa menjadi pusat kebudayaan yang mendukung promosi pariwisata sekaligus membuka peluang ekonomi baru bagi masyarakat,” ungkapnya.
Kekhawatiran Generasi Muda
Di sisi lain, Plt. Kepala Dinas Pariwisata Gayo Lues, Mursyidi, menyuarakan keprihatinannya terhadap semakin berkurangnya minat generasi muda terhadap Saman.
“Padahal Saman sudah diakui UNESCO, tetapi ironisnya, banyak anak muda justru kurang memahami bahkan tidak tahu makna filosofis tarian ini. Jika tidak segera diatasi, lambat laun Saman bisa terancam punah,” jelasnya.
Senada dengan itu, Kabid Kebudayaan, Sabirin, menekankan pentingnya memperkenalkan nilai-nilai di balik gerakan dan syair Saman. Menurutnya, Saman bukan sekadar seni tari, tetapi juga sarana pendidikan karakter, kebersamaan, dan spiritualitas masyarakat Gayo.
> “Generasi muda perlu dikenalkan bukan hanya pada gerakannya, tetapi juga filosofi yang ada di baliknya. Saman mengajarkan nilai persatuan, kebersamaan, dan ketaatan yang menjadi ruh masyarakat Gayo,” ujarnya.
Menjaga Adat, Menjaga Identitas
Sementara itu, Kasat Pol PP Gayo Lues, Syabri, menegaskan bahwa kelestarian adat istiadat adalah fondasi utama menjaga kekuatan Saman.
“Saman lahir dari adat Gayo. Kalau adat sudah mulai pudar, maka Saman pun kehilangan rohnya. Karena itu, menjaga adat sama pentingnya dengan menjaga Saman,” kata Syabri.
Harapan Bersama
Bincang-bincang ini menyimpulkan satu hal: pelestarian dan pengembangan Saman membutuhkan kolaborasi lintas sektor. Pemerintah daerah, seniman, DPR RI, kementerian terkait, hingga lembaga internasional harus bersinergi.
Harapan terbesar adalah agar Saman Center segera terealisasi sebagai pusat budaya yang tidak hanya menjaga warisan leluhur, tetapi juga membuka jalan bagi kesejahteraan masyarakat Gayo Lues. Dengan demikian, Saman tidak hanya menjadi warisan dunia yang diakui, tetapi juga sumber kehidupan dan kebanggaan yang terus tumbuh dari generasi ke generasi.
(Kang Juna – Reporter)

































