Banda Aceh – Dua momentum besar, 20 tahun perdamaian Aceh dan 80 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, menjadi ruang refleksi bagi perempuan akar rumput untuk menyuarakan pengalaman, harapan, dan tuntutan keadilan.
Ernawati, tokoh perempuan asal Pidie sekaligus Koordinator Program Flower Aceh, menegaskan bahwa damai dan merdeka bukan hanya berhenti dari dentuman senjata.
“Damai berarti bisa bekerja tanpa takut, keluar rumah dengan tenang, dan turut serta dalam pembangunan. Merdeka berarti suara kita didengar. Tapi perjalanan belum selesai, masih ada kemiskinan, ketidakadilan, dan suara perempuan yang diabaikan,” ujarnya.
Sri Mayuliza, anak korban konflik dari Aceh Utara, menyebut perdamaian 20 tahun ini sebagai berkah. “Kami ingin anak-anak Aceh tumbuh dengan warisan harapan, bukan luka perang,” katanya.
Muhklifah, perempuan penggerak kesehatan di Aceh Tamiang, memaknai merdeka sebagai terbebas dari perundungan dan mendapatkan penghargaan tanpa memandang latar belakang. “Perdamaian dan kemerdekaan saling terkait. Damai dirasakan hati, merdeka dirasakan jasmani,” tegasnya.
Namun, suara kritis juga disuarakan. Annisa, tokoh perempuan komunitas di Pidie, menyebut damai masih sebatas di atas kertas. “Keadilan bagi korban masih janji belaka. Kami sudah terus menyuarakan, tapi tak ada perubahan,” ungkapnya.
Cut Ria, keluarga penyintas kekerasan sekaligus paralegal komunitas di Aceh Besar, menegaskan: “Perdamaian sejati tidak cukup tanpa senjata, tapi harus hadir dengan kebenaran, pemulihan, dan pengakuan. Kami tidak menuntut balas, kami menuntut keadilan.”
Khuzaimah, korban konflik di Aceh Utara, menyoroti kebutuhan penting: pemulihan trauma, layanan kesehatan mental, proses hukum yang adil, serta pengakuan terhadap kontribusi perempuan dalam perdamaian.
Dari perspektif lain, Mainar, Tuha Peut Banda Aceh, menilai perdamaian membuat perempuan lebih bebas beraktivitas. “Perempuan kini bisa keluar malam tanpa rasa takut,” katanya.
Sementara itu, Zahruna, Ketua Forum Komunitas Akar Rumput (FKPAR) Aceh, menegaskan arti kemerdekaan perempuan adalah terbebas dari kemiskinan, penindasan, dan kesulitan akses pendidikan.
Riswati, Direktur Eksekutif Flower Aceh, menutup refleksi dengan catatan strategis. Ia mendorong pengarusutamaan agenda Women, Peace, and Security (WPS), peningkatan partisipasi perempuan dalam perencanaan pembangunan, integrasi GEDSI dan hak anak di semua sektor, hingga optimalisasi Anggaran Responsif Gender (ARG).
“Dengan langkah ini, Aceh dapat membangun masa depan yang adil, setara, dan inklusif bagi semua,” ujarnya.
Refleksi ini menegaskan: merawat damai dan merdeka bukan tugas sesaat, melainkan kerja bersama. Dan perempuan akar rumput siap terus berdiri di garis depan untuk menjaga serta mengisinya.





































