JAKARTA — Diskursus tentang masa depan pers kembali mengemuka seiring kian kuatnya pengaruh platform digital dalam menentukan arus informasi publik. Dalam diskusi “Kaleidoskop Media Massa 2025” yang berlangsung di Aula Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih, Jakarta, Selasa, 23 Desember 2025, para jurnalis, pengelola media, akademisi, hingga budayawan memotret satu kegelisahan yang sama: pers Indonesia tengah berada di persimpangan sejarah akibat supremasi algoritma.
Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Akhmad Munir, menyebut industri media nasional sedang menghadapi tekanan berlapis. Bukan hanya perubahan pola konsumsi informasi masyarakat yang kian berpindah ke platform digital, tetapi juga dominasi perusahaan teknologi global yang menguasai distribusi konten melalui algoritma. Dalam situasi ini, pers dinilai kehilangan banyak ruang yang sebelumnya menjadi domain utama media arus utama.
Munir berpandangan negara tidak bisa sepenuhnya lepas tangan. Menurut dia, diperlukan kebijakan yang mampu menjaga keberlangsungan ekosistem pers nasional agar tetap menjalankan fungsi demokratisnya. Namun, ia mengingatkan, keterlibatan negara harus dirancang secara hati-hati agar tidak berubah menjadi intervensi yang mengancam kemerdekaan pers.
Persaingan dengan media sosial disebut sebagai tantangan paling konkret. Kecepatan distribusi, kekuatan modal, serta algoritma yang dirancang untuk menarik perhatian publik membuat platform digital unggul dalam menjangkau audiens. Sementara itu, banyak perusahaan pers dinilai belum sepenuhnya siap beradaptasi, baik dari sisi teknologi, model bisnis, maupun kualitas sumber daya manusia.
Wakil Ketua Dewan Pers, Totok Suryanto, menyoroti dampak tekanan finansial terhadap kualitas jurnalisme. Keterbatasan anggaran membuat banyak media tidak lagi mampu menempatkan koresponden di berbagai daerah. Akibatnya, liputan mendalam dan berbasis verifikasi semakin jarang ditemui. Pada saat yang sama, media sosial membanjiri ruang publik dengan informasi instan yang kerap abai pada prinsip akurasi.
Totok bahkan mengingatkan kemungkinan yang lebih ekstrem. Jika suatu saat platform media sosial mampu memenuhi standar verifikasi, konfirmasi, dan etika jurnalistik, maka posisi media arus utama akan menghadapi tantangan eksistensial yang jauh lebih berat.
Tekanan ekonomi juga disoroti Anggota Dewan Pakar PWI Pusat, Wahyu Muryadi. Ia memaparkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah media terpaksa menghentikan operasional karena tidak sanggup bertahan menghadapi perubahan teknologi dan penurunan pendapatan. Menurut Wahyu, opsi intervensi negara memang kerap muncul sebagai jalan keluar, namun menyimpan risiko besar berupa ketergantungan yang dapat menggerus independensi redaksi.
Dominasi algoritma menjadi perhatian khusus Ketua Bidang Pendidikan PWI Pusat, Agus Sudibyo. Ia menilai algoritma platform digital telah mengambil alih peran editor dalam menentukan informasi apa yang sampai ke publik. Nilai kepentingan publik kerap dikalahkan oleh logika popularitas dan keterlibatan pengguna. Upaya memperjuangkan hak penerbit atau publisher’s right yang diharapkan memberi keadilan ekonomi bagi media pun hingga kini belum menunjukkan hasil signifikan.
Di tengah nada kritis tersebut, suara yang lebih optimistis juga mengemuka. Ketua Dewan Pakar PWI Pusat, Dhimam Abror, mengingatkan bahwa sejarah pers selalu diwarnai kecemasan terhadap teknologi baru. Dari radio, televisi, hingga internet, semuanya pernah dianggap sebagai ancaman mematikan, namun pers tetap bertahan dengan beradaptasi. Kecerdasan buatan, menurut dia, bukanlah predator yang pasti menghancurkan, melainkan tantangan yang menuntut strategi cerdas.
Pandangan serupa disampaikan Effendi Gazali, anggota Dewan Pakar PWI Pusat. Ia menilai perkembangan kecerdasan buatan akan melahirkan dialektika baru dalam industri media. Ketimpangan yang tampak saat ini, kata dia, bukan akhir dari segalanya. Dalam jangka panjang, akan muncul keseimbangan baru yang membentuk ulang wajah media.
Dimensi kultural turut mewarnai diskusi melalui pandangan budayawan Sujiwo Tedjo. Ia menilai algoritma pada dasarnya bukan hal asing bagi manusia. Sejak lama, kehidupan sosial berjalan berdasarkan pola sebab-akibat yang serupa dengan prinsip algoritmik. Ketakutan berlebihan terhadap teknologi, menurut dia, justru menutupi persoalan utama, yakni bagaimana manusia mengendalikan dan memanfaatkannya.
Menutup rangkaian diskusi, Akbar Faisal menegaskan bahwa profesi wartawan sedang menjalani ujian besar di tengah disrupsi teknologi. Dalam kondisi ini, organisasi kewartawanan dinilai memiliki peran strategis untuk memperkuat kapasitas, etika, dan profesionalitas jurnalis. Dengan kemampuan beradaptasi dan integritas yang terjaga, ia meyakini pers masih memiliki ruang untuk bertahan dan tetap relevan, meski lanskap informasi terus berubah dengan cepat dan tidak selalu bersahabat. []


































