TLii >>> PIDIE JAYA – Malam turun perlahan di langit Pidie Jaya. Udara membawa kesejukan laut, berbaur dengan aroma bunga taman yang baru disiram. Di kejauhan, cahaya mulai menyala — satu, dua, lalu ribuan lampu berpendar serempak, menyalakan denyut kehidupan di jantung kota kecil yang kini menjelma jadi lautan cahaya.
Gedung utama arena MTQ berdiri megah di tengah kemilau itu. Walau tanpa menara, namun gagah dalam kesederhanaannya. Dindingnya berlapis cahaya , memantulkan warna biru dan hijau yang silih berganti, seolah langit sendiri menunduk memberi restu. Di bawah pancaran lampu, setiap lekuk bangunan tampak hidup, seperti sedang bercerita tentang kebanggaan dan harapan yang tumbuh di bumi Pidie Jaya.
Malam itu, kafilah mulai berdatangan dari segala penjuru Aceh. Dari timur dan barat, dari pesisir hingga pegunungan, kendaraan melintas perlahan menuju kompleks perkantoran Bupati yang kini bersolek bak istana cahaya. Jalan layang berhiaskan lampu indah, taman-taman bersinar lembut, dan air mancur dari ujung bambu menari gemulai dalam irama air yang berkilau. Setiap sudut seperti berbisik — selamat datang, para tamu mulia pembawa ayat-ayat suci.
Langit malam Pidie Jaya tak sekadar terang oleh lampu, tapi oleh getar keimanan yang mengalir di dada setiap insan. Anak-anak menatap takjub, orang tua tersenyum haru, dan suara takbir kecil terdengar dari masjid terdekat, menambah khidmat di antara gemerlap cahaya. Di tengah hiruk pikuk itu, ada rasa yang sulit dijelaskan: rasa bangga, haru, dan syukur yang menyatu dalam diam.
Malam ini, Pidie Jaya tidak sekadar bersiap menjadi tuan rumah. Ia sedang menulis sejarahnya sendiri — sejarah tentang cahaya, tentang kebersamaan, dan tentang iman yang bersinar di bawah langit Aceh. ( Joy – Timeli
nesiNews)





































