TLii | ACEH | ACEH TENGGARA, 25 November 2025 – Kebijakan pengenaan biaya sebesar Rp700.000 bagi setiap mahasiswa untuk pengambilan ijazah di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Nurul Hasanah Aceh Tenggara memicu kontroversi dan dugaan pungutan liar.
Informasi yang berkembang menyebutkan, seluruh lulusan yang telah mengikuti prosesi wisuda diwajibkan membayar Rp700.000 sebelum dapat menerima ijazahnya. Pembayaran dilakukan melalui mekanisme resmi kampus dan disertai kuitansi. Tahun ini, jumlah wisudawan diperkirakan sekitar 400 orang. Jika dikalkulasikan, total dana yang terkumpul dari pungutan tersebut mencapai kurang lebih Rp280 juta.
Sejumlah mahasiswa dan alumni mengaku terkejut karena biaya tersebut tidak pernah disampaikan secara jelas sejak awal perkuliahan maupun menjelang wisuda.
“Kami baru tahu harus membayar Rp700 ribu saat mengambil ijazah. Memang ada kuitansi resmi, tapi kami tidak tahu uang itu untuk apa,” ujar salah seorang alumni yang enggan disebutkan namanya.
Upaya konfirmasi yang dilakukan media kepada pihak STIKES Nurul Hasanah pada Senin, 24 November 2025, dengan mengajukan pertanyaan terkait legalitas pungutan dan peruntukan dana, belum mendapatkan penjelasan memadai. Hingga kini, kampus belum mengeluarkan pernyataan resmi yang menjelaskan dasar hukum dan penggunaan dana tersebut.

Secara normatif, kebijakan penarikan biaya pengambilan ijazah ini dinilai bermasalah. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2020 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi Negeri dan Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Swasta (BOPTN), tidak terdapat ketentuan yang mewajibkan pungutan biaya tambahan khusus saat pengambilan ijazah, terlebih bila tidak diatur dan diinformasikan secara transparan sejak awal.
Selain itu, Surat Edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi menegaskan pentingnya prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam penetapan segala bentuk pembiayaan kepada mahasiswa. Dalam kasus ini, asas tersebut dinilai belum terpenuhi karena mahasiswa tidak memperoleh informasi jelas mengenai dasar penarikan dan peruntukan dana.
Lebih jauh, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi pada Pasal 76 mengatur bahwa pengelolaan dana pendidikan tinggi wajib dilaksanakan secara transparan, akuntabel, berkeadilan, dan berlandaskan tanggung jawab sosial. Pungutan yang dilakukan tanpa kejelasan dasar hukum dan tanpa penjelasan kepada mahasiswa berpotensi melanggar norma tersebut dan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum administratif serta etika penyelenggaraan pendidikan.
Secara prinsip, ijazah merupakan hak akademik mahasiswa yang telah menyelesaikan seluruh kewajiban studi dan keuangan yang sah. Penahanan ijazah karena kewajiban pembayaran biaya tambahan yang tidak pernah diinformasikan sejak awal, dapat dinilai sebagai tindakan tidak profesional dan berpotensi masuk kategori pungutan liar, terlebih jika tidak didukung regulasi internal yang jelas dan transparan.
Pengamat pendidikan menilai, kampus hanya dapat memungut biaya tertentu—seperti biaya wisuda atau layanan administrasi—apabila telah diatur melalui keputusan resmi, diumumkan sejak awal perkuliahan, dan disertai rincian penggunaan dana. Pungutan mendadak di akhir masa studi dinilai bertentangan dengan asas keadilan bagi mahasiswa.
Dengan belum adanya klarifikasi terbuka dan dasar hukum yang jelas dari pihak STIKES Nurul Hasanah, pungutan biaya pengambilan ijazah sebesar Rp700.000 tersebut kini menjadi sorotan publik dan berpotensi dinilai sebagai praktik pungutan tidak sah yang merugikan mahasiswa.
Berbagai pihak berharap, manajemen STIKES Nurul Hasanah segera memberikan penjelasan resmi, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada mahasiswa, orang tua, serta publik. Jika tidak, kasus ini berpotensi dilaporkan kepada Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI), Ombudsman Republik Indonesia, maupun Kementerian Pendidikan, untuk dilakukan evaluasi dan penindakan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

































