( foto istimewa sang penulis bersama anak-anak hizbul Wathan Unmuh Babel saat perjalanan pulang)
Oleh: Putri Simba
Siang itu ,udara di gunung mangkol terasa hangat namun begitu sejuk. Matahari belum sepenuhnya tertutup awan,dan angin berhembus lembut membawa aroma hutan yang segar. Kami duduk di pinggir jalan,menunggu mobil yang akan menjemput pulang setelah kegiatan diksar selama tiga hari karena dua mobil sudah berangkat terlebih dahulu karena sudah penuh membawa peralatan kemah peserta diksar.
Kami masih menunggu sambil duduk santai yang diiringi tawa.
“Aduh,lama benerlah kapan sih mobilnya datang udah pengen pulang nih.” Ujar salah satu peserta diksar yang bernama Nandini.
“Sabar gais,paling juga bentar lagi sampai kok.” Sahut Indah.
Terlihat dari kejauhan mobil ambulan lazismu yang di kendarai oleh Ramanda Hanif untuk menjemput peserta sudah datang. Yang langsung di serbu para ayunda-ayunda peserta diksar yang sudah tidak sabar lagi untuk pulang. Kami yang belum kebagian tempat hanya bisa tersenyum menunggu mobil pick up.
“Yah,udah penuh lagi… Ya udah deh tunggu mobil berikutnya aja.” ujarku dengan pelan.
Brum… Mobil lazismu sudah berangkat pulang, hampir setengah jam kami menunggu ada yang berfoto-foto, bercerita satu sama lain,main air dan yang uniknya adalah ingin melihat/ mencari mentilin yang nyatanya mentilin hanya ada disaat malam hari.
“Gais liat mentilin yuk,siapa tau nongol dia.”ujar Sinta.
Semua langsung menatap ke arah Sinta dengan wajah penasaran.
“Hah… Mentilin di siang hari ,kamu kira dia piknik apa,mentilin adanya di malam hari?” Jawabku sambil tertawa.
“Kata siapa gx ada,lihat tuh itu mentilin.” Kata Diana
“Mana-mana.” tanyaku terheran-heran penasaran.
“Ituloh,itu yang di bajunya amang itukan mentilin”. kata Diana.
Tawa seketika pecah di tengah gerimis yang semakin rapat. Di antara dinginnya gunung mangkol,suasana tetap hangat oleh kebersamaan dan gurauan konyol yang spontan. Tak lama dari situ suara mesin mobil terdengar dari kejauhan dan ya akhirnya mobil jemputan yang di tunggu-tunggu datang juga.
“Ayo naik gais.” ujar Naila
“Gas.” Sahut kompak ayunda-ayunda pandu muda HW Unmuh Babel.
Mereka semuanya mulai naik ke mobil walaupun harus berdiri berdesakan sempit demi bisa pulang bersama tidak ada yang meninggalkan satu sama lain. Sebelum mobil berangkat,Rakanda Sayied berdiri di belakang sambil bersuara lantang tapi lembut.
“Mohon perhatian semuanya, dengerin kakak ya,kalian harus pegangan yang kuatt…, Saling jaga bila perlu pelukan agar tidak ada yang jatuh…” ujarnya.
“Siap rakanda” jawab semuanya kompak.
Brum… Mobil melaju dengan cepat,dan astaga setiap beberapa meter pasti banyak lubang serta jalan licin. Kami sambil terlompat-lompat hampir jatuh di bak mobil.Dedaunan bambu dari sisi jalan menampar kepala kami sehingga suasana semakin riuh.
“Nunduk gais ada daun cepat nunduk…” ujar Nabila
“Sekarang jangan nunduk lagi,eh… nunduk lagi ada daun bambuuu…”
Suara tawa bercampur jeritan terdengar kencang.
“Bapak pelan-pelan pak, tolong jangan ngebut…” teriak ku yang mulai panik.
“Plis mau turun,aku mau turun.”kata Dina setengah berteriak juga.
“Aaa… Takut ya Allah,demi apapun belum siap pergi.”
Sementara itu,dari belakang suara motor terdengar dan ya itu adalah Rakanda Sayied yang terus mengikuti kami dari belakang.
“Banyak-banyak berdoa dan saling jaga ya…”Ujar Rakanda Sayied dari belakang tersenyum mengabadikan momen ini dengan merekam video dari belakang.
“Siap rakanda.” Sahut semuanya serentak.
Jalanan makin menanjak,mobil terus berguncang. Setiap lubang membuat tubuh kami terpental kecil tapi meski demikian tak ada yang menyerah. Di tengah ketakutan, suara tawa terus bergema. Kami saling berpegangan, saling menenangkan, walau hati deg-degan setengah mati.
“Bapakkkkk… Pelan-pelan pak jangan ngebut plis jangan ngebut.”
Jalanan makin menanjak,setiap lubang membuat tubuh kami terpental kecil, tapi justru di situlah kekompakan kami teruji. Ada yang bantu menahan temannya agar tidak jatuh,ada yang saling pelukan,saling pegang tangan juga megang bajunya agar tidak terjatuh.
“Eh-eh! tolong yang belakang duduk ketindihan ini kasian woy anak orang,ayo seimbangkan.” teriak ku yang seketika suasana semakin heboh.
“Tolong we,kasian itu Sasi nya dan yang belakang nya juga” ujar Dina.
“Plis jangan goyang -goyang” Kata Namira.
Mobil terus berjalan dengan cepat di zona merah itu, banyak sekali yang menjerit ketakutan super panik antara hidup dan mati.
” Ya Allah, bismillah semoga tidak terjadi apa-apa.” ujarku didalam hati sambil memejamkan mata dan memegang bahu teman dengan erat.
“Bapak tolong jangan ngebut.”teriak ku kembali dengan kuat karena untuk pertama kalinya lah naik mobil pick up yang muaranya banyak banget namun kenangan nya seribu cerita
Mobil bak itu terus melaju, goyang ke kanan dan ke kiri, seolah menari di atas lubang dan ya emang menari sih menari antara tawa,sedih, juga cemas tak terhingga sepanjang perjalanan.
“Ya Allah, semoga selamat,” gumamku.
Tapi di tengah teriakan dan deg-degan itu, suasananya malah jadi seru kayak petualangan gila yang cuma bisa terjadi sekali seumur hidup. Satu jam kemudian yang begitu panjang mobil pick up yang kami tumpangi berhenti karena sudah sampai. Dan saat mobil benar-benar berhenti di halaman kampus, semua langsung bersorak keras.
“ALHAMDULILLAHHH!!”
Beberapa orang langsung turun, ada yang jatuh duduk di tanah sambil tertawa, ada yang saling tos, ada juga yang langsung ngucap syukur berkali-kali.Angin siang yang masih lembut terasa menyegarkan wajah. Aroma tanah basah bercampur peluh dan tawa kami semua.
“Gila, ini sih perjalanan paling gokil seumur hidup,” ucap Dina sambil ngelap keringat.
“Iya, antara hidup dan mati, tapi seru banget!” sambung yang lain.
Kami pun mulai beres-beres barang, saling bantu, saling cerita tentang bagian paling menegangkan tadi.Meski lelah, tak ada satu pun dari kami yang menyesal. Justru di perjalanan pulang itulah kami merasa paling dekat bukan cuma sebagai teman satu kegiatan, tapi sebagai keluarga kecil yang baru saja melewati petualangan luar biasa bersama.


































