
Oleh: Redaksi TIMELINES INEWS INVESTIGASI
Tarian Saman kini berada di persimpangan jalan. Sejak dikukuhkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Dunia oleh UNESCO pada 2011, gaung Saman menggema hingga ke mancanegara. Namun ironisnya, sorotan dunia itu belum berbanding lurus dengan kesejahteraan pelakunya di tanah kelahiran: Kabupaten Gayo Lues, Aceh. Di dalam daerah, seniman Saman masih berjuang menembus akses pentas dan fasilitas, sementara di luar daerah Saman dielu-elukan sebagai ikon Indonesia.
Dalam sebuah bincang santai bersama Kang Juna di Dinas Pariwisata Gayo Lues, Syamsul Bahri, S.Pd, M.AP — Dewan Pakar Saman sekaligus Plt. Kepala Dinas Perindagkop — secara lugas menyatakan bahwa akses seniman lokal terhadap even nasional apalagi internasional masih sangat terbatas. “Kalau kita ingin Saman benar-benar menjadi ikon daerah yang mendunia, maka sinergi harus dibangun. Tidak cukup hanya mengandalkan APBD,” ujarnya.
Syamsul menekankan perlunya menggandeng DPR RI, pemerintah pusat, bahkan pihak swasta untuk membuka jalan investasi berbasis budaya. Festival budaya dan pameran internasional harus dimanfaatkan tidak hanya untuk pamer kebudayaan, tetapi juga menghadirkan manfaat konkret ekonomi kreatif.

Gagasan Besar, Perjalanan Panjang
Lebih jauh, Syamsul menghidupkan kembali gagasan lama tentang Saman Center — sebuah pusat pelestarian, riset, dan promosi Saman — yang digaungkan sejak 2014, namun tak kunjung berdiri. Padahal, keberadaan Saman Center dinilai mampu menjadi “mesin” kebudayaan sekaligus ekonomi baru bagi masyarakat Gayo Lues.
“Lebih dari sepuluh tahun wacana ini bergulir, tetapi belum juga terealisasi. Padahal ia bisa menjadi magnet pariwisata, pusat kajian, hingga ruang kreasi seniman Saman,” kata Syamsul. Pertanyaannya: apa lagi yang kita tunggu?
Generasi Muda Menjauh?
Keprihatinan lain datang dari Plt. Kadis Pariwisata Mursyidi, yang menyebutkan bahwa minat generasi muda terhadap Saman kian menurun. Bukan karena tarian ini tidak menarik, tetapi karena nilai filosofisnya tidak lagi dipahami.
Senada, Kabid Kebudayaan Sabirin mengingatkan Saman bukan sekadar tarian serempak, tetapi sarat pesan moral: persatuan, disiplin, spiritualitas, dan karakter. Jika Saman hanya dipertahankan pada level gerakan tanpa pewarisan makna, maka ia akan menjadi “cangkang kosong” yang perlahan mati.
Kasat Pol PP Gayo Lues, Syabri, bahkan mengingatkan bahwa merawat Saman harus dimulai dari merawat adat-istiadat Gayo itu sendiri: “Kalau adat pudar, maka Saman kehilangan roh.”

Rekomendasi Kebijakan
Sebagaimana Kabupaten Gayo Lues pernah mencatat sejarah keberhasilan melalui program 1000 Hafiz Quran — dengan menghadirkan pendidikan hafalan Qur’an tambahan di luar jam sekolah — kepemimpinan daerah saat ini juga seyogianya mengambil langkah inovatif di bidang kebudayaan. Pemerintah daerah perlu menjadikan seni tari Saman sebagai muatan lokal wajib di seluruh sekolah negeri maupun swasta, disertai kurikulum yang mengajarkan filosofi, syair, hingga praktik latihan gerakan. Dengan model pelatihan rutin mirip kelas Tahfiz, Gayo Lues tak hanya dikenal sebagai gudang penghafal Al-Qur’an, tetapi juga lumbung generasi pelestari budaya — perpaduan luhur antara kecerdasan spiritual dan kekuatan jati diri.
Menagih Keberanian
Redaksi meyakini, ini saatnya momentum pengakuan UNESCO diterjemahkan menjadi aksi berpihak. Pemerintah daerah musti berani mengambil lompatan kebijakan: mendirikan Saman Center, memasukkan pendidikan Saman berbasis filosofi ke sekolah-sekolah, membuka pintu kolaborasi lintas lembaga, sekaligus merancang roadmap hilirisasi ekonomi Saman.
Lebih dari sekadar pelestarian, yang kini dibutuhkan adalah keberanian menjadikan budaya sebagai sumber kesejahteraan — tanpa menghilangkan marwahnya.
Karena Warisan Tanpa Kesejahteraan adalah Kepedihan
UNESCO mungkin telah memberikan pengakuan dunia. Tetapi pengakuan terbesar datang dari generasi muda yang bangga melanjutkan tradisi, serta dari seniman Saman yang hidupnya sejahtera berkat warisan leluhur. Saman kini menunggu langkah konkret, bukan sekadar seremoni. Agar ia tetap bertahan bukan karena status warisan dunia, tetapi karena menjadi denyut nadi masyarakat Gayo Lues — hari ini, esok, dan selamanya.

































