Tlii |SUMUT | Pembangunan Monumen Silang Hangoluan Habatahon di Parik Sabungan, Sianjur Mula-mula, Kabupaten Samosir, menjadi sumber polemik yang terus menguat. Proyek yang digagas sebagai penanda “Titik Nol Peradaban Batak” ini menuai kritik tajam dari kalangan akademisi, masyarakat adat, hingga intelektual muda Batak yang menilai bahwa proyek tersebut sarat dengan bias simbolik dan berpotensi menggerus identitas budaya Batak yang majemuk.
Shohibul Anshor Siregar, dosen FISIP UMSU Medan, menyatakan bahwa pembangunan salib raksasa setinggi 30 meter ini merepresentasikan pertarungan simbolis antara warisan kolonial dan identitas lokal. “Sebagian komunitas muda dan intelektual Batak menolak pembangunan salib karena dianggap sebagai simbol eksklusif agama Kristen dan tidak mencerminkan identitas kultural universal Batak,” tegasnya. Ia menambahkan bahwa proyek ini dicurigai melanjutkan hegemoni simbol keagamaan warisan kolonial Belanda, yang erat kaitannya dengan kristenisasi paksa abad ke-19.
Penolakan terhadap proyek ini tidak hanya hadir dalam diskursus intelektual, tetapi juga muncul secara formal dari masyarakat adat. Dalam surat resmi bertanggal 9 April 2025, Ruma Parsiajaran Tradisional Inang Nauli Basa bersama tokoh akademik, praktisi hukum, dan pemerhati budaya Batak menyampaikan permohonan audiensi kepada Bupati Samosir. Mereka menyuarakan kekhawatiran akan terhapusnya jati diri habatakon, serta dampak generalisasi kepercayaan tertentu terhadap seluruh masyarakat Batak.
“Bahwa pembangunan Silang Hangoluan di tanah leluhur marga-marga Batak berakibat pada pandangan negatif dan dapat menjeneralisasi kepercayaan dan agama tertentu kepada suku Batak,” tulis mereka dalam surat tersebut. Permohonan audiensi dijadwalkan pada 12 April 2025 di Kantor Bupati Samosir, dan surat tersebut turut ditembuskan kepada Presiden RI, kementerian terkait, lembaga keagamaan, dan media massa.
Shohibul Anshor Siregar menggarisbawahi bahwa ruang budaya Batak pascakolonial kini menjadi arena pertarungan simbol yang sangat politis. “Narasi ‘Batak = Kristen’ yang coba dikokohkan melalui proyek ini secara tidak langsung meminggirkan komunitas minoritas Batak, seperti penganut Malim dan Muslim Batak,” ujarnya. Ia menyebut ini sebagai kelanjutan dari stigmatisasi kolonial terhadap kepercayaan lokal.
Dalam konteks perlawanan, Shohibul menekankan pentingnya penggunaan data dan solidaritas sebagai alat perjuangan. Salah satu bentuknya adalah digitalisasi naskah kuno Batak untuk membuka kembali akses terhadap sejarah yang lebih otentik dan inklusif. Namun, ia mengingatkan agar proses digitalisasi dilakukan dengan itikad baik dan tidak menghilangkan unsur kepercayaan yang beragam.
Shohibul juga menyoroti urgensi repatriasi naskah-naskah Batak yang kini tersimpan di institusi asing. “Kolonialisme pengetahuan dan fragmentasi sejarah adalah tantangan besar. Repatriasi dan pembangunan infrastruktur budaya yang berdaulat sangat penting untuk merebut kembali narasi kita sendiri,” pungkasnya.
Kontroversi ini menandai titik kritis dalam perjalanan masyarakat Batak untuk menegosiasikan identitas dan warisan budaya mereka di tengah bayang-bayang kolonialisme lama yang masih membekas. Persoalan Silang Hangoluan bukan hanya soal bangunan fisik, melainkan tentang siapa yang berhak menentukan makna sejarah dan simbol kolektif suatu bangsa.
Penulis: Pengamat Sosial Politik Asal Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara [UMSU] Shohibul Anshor Siregar
Tim Redaksi